Putri Ngaku Dilecehkan Tapi Masih Mau Temui Brigadir J, Kenapa?
- VIVA/M Ali Wafa
"Dari sekian banyak korban yang pernah ahli temui, berapa persen yang melakukan defense seperti ini dibandingkan melapor ke kepolisian atau ke dokter dengan visum?" tanya Sarmauli.
"Kalau dilihat dari Indonesia judicial research society tahun 2021 yang margin error 2 persen dari data populasinya. Itu menunjukkan bahwa kebanyakan akan menarik diri, takut, malu, merasa bersalah yang bisa menggunakan ketiga respons tersebut. Yang terbanyak adalah upaya untuk kemudian dia tidak melakukan pelaporan. Jadi menyelesaikan sendiri, mengendalikan sendiri situasi gemuruh psikologis yang ada di dirinya. Sedikit sekali yang merespons yang betul-betul mengekspresikan," ungkap Reni.
"Apa karena ini juga disebut karena Indonesia menganut culture of silence terhadap kekerasan seksual. Ahli bagaimana pendapatnya?" tanya Sarmauli.
"Bisa, karena selama ini terjadi reviktimisasi terhadap korban perkosaan, tidak dipercaya, dianggap turut serta, ini juga menjadi suatu stigma bagi korban yang membuat korban lalu bagaimana saya harus keluar dari situasi ini. Makanya terjadi suatu bentuk defence mekanisme untuk tetap kuat, pilihannya bisa kontrol. Nah kontrol ini bisa terjadi bila dia memiliki support sistem yang cukup di saat ajudan, ada orang yang cukup bisa diandalkan untuk memberikan pengamanan maka ada keputusan dari dirinya dengan menekan rasa malu, takut, marahnya tadi," tutur Reni.