Mengingat Kembali Jejak Politik dan Kasus Pidana Anas Urbaningrum

Anas Urbaningrum
Sumber :
  • tvOneNews

VIVA Bandung – Nama Anas Urbaningrum tak pernah hilang dari panggung politik. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu harus tersandung kasus korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet Hambalang pada tahun 2013 silam, saat karier politiknya kala itu tengah berada di puncak.

Anas ditahan awal tahun 2014. Tak lama kemudian, dia memutuskan untuk hengkang dari Demokrat.

Namun berselang 8 tahun, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang dinahkodai oleh  I Gede Pasek Suardika berharap Anas bergabung ke partainya setelah bebas dari penjara.

Diketahui, Pasek adalah loyalis Anas yang juga pernah berkiprah di Pantai Demokrat. Bahkan, diakui Pasek, pembentukan PKN adalah buah gagasan dari sejumlah pihak, tak terkecuali Anas.

Melansir dari berbagai sumber, berikut jejak politik dan kasus hukum Anas Urbaningrum:

Anas Urbaningrum ditetapkan menjadi tersangka pada Februari 2013 atas kasus korupsi megaproyek Hambalang yang melibatkan namanya. Kasus tersebut pertama kali diungkap oleh mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin pada 2011.

Namun, Nazaruddin melarikan diri ke luar negeri usai ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.

Kemudian, Anas ditahan pada awal 2014. Sebulan setelahnya tepatnya 23 Februari 2014, dia menyatakan mundur dari ketua umum sekaligus kader Demokrat.

Vonis terhadap Anas dijatuhkan pada September 2014. Saat itu, Majelis Halim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.

Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.

Namun, vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang meminta dia dihukum 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp 94 miliar serta 5,2 juta dollar AS.

Tak terima atas vonisnya, Anas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan memangkas hukuman Anas 1 tahun menjadi 7 tahun penjara. Namun, Anas tetap didenda Rp 300 juta.

Kendati dijatuhi hukuman yang lebih ringan, Anas masih tak puas. Dia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Pada Juni 2015, MA menyatakan menolak permohonan Anas. Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar kala itu justru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara ke Anas.

Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut juga diharuskan membayar denda Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.

Selain itu, Anas diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.

Namun, lima tahun berselang, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Anas. Pada September 2020, majelis hakim PK yang dipimpin Sunarto menyunat hukuman Anas 6 tahun.

Dengan demikian, hukuman Anas berkurang drastis menjadi 8 tahun penjara.

Namun begitu, Anas tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 57,9 miliar dan 5.261.070 dollar AS.

Selain itu, majelis hakim PK tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok.