Jakarta Dalam Ancaman Gempa, Ini Riwayat Mengerikan Sesar Baribis
- istimewa
BANDUNG – Wilayah Jakarta, Bogor dan sekitarnya perlu bersiap-siap menghadapi potensi ancaman gempabumi, yang diakibatkan oleh pergerakan Sesar Baribis.
Mengingat Jakarta dan sekitarnya berada di zona bahaya gempa, baik dari zona subduksi maupun jalur patahan di daratan.
Data sejarah juga menunjukkan, kota ini sudah berulang kali mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang mengharuskannya untuk bersiaga terhadap ancaman berikutnya.
Dilansir dari penelitian terbaru yang dipublikasikan di Scientific Reports-Nature, tentang Sesar Baribis dan ancaman gempabumi pada 16 Juni 2022, menambah bukti ancaman gempabumi yang mengepung Jakarta dan sekitarnya.
Selain itu, penelitian yang ditulis Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro dan tim ini menunjukkan bahwa, Sesar Baribis, jalur patahan di selatan Jakarta, aktif dan menyimpan ancaman besar.
Sesar Baribis ini terletak di bagian utara Pulau Jawa, membentang dari Kabupaten Purwakarta sampai perbukitan Baribis di Kabupaten Majalengka (Van Bemmelen, 1949).
Riwayat gempa Sesar Baribis:
- Jakarta, 5 Januari 1699: Gempa magnitudo 8,0
- Jakarta, 22 Januari 1780: Gempa magnitudo 7,0
- Cirebon, 16 November 1847: Gempa magnitudo 7,0
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan, mengenai adanya sesar aktif Baribis yang membentang di selatan Jakarta.
Sesar Baribis merupakan sesar aktif yang bisa memicu terjadinya aktivitas gempa di daerah Jakarta dan sekitarnya.
"Struktur Sesar Baribis segmen di selatan Jakarta terbukti aktif dengan estimasi laju geser mencapai sekitar 5 milimeter per tahun," ujar Daryono saat dalam pernyataan resmi, Sabtu, 25 Juni 2022.
"Selain itu, keaktifan sesar ini didukung hasil monitoring peralatan sensor seismograf BMKG di mana terdapat aktivitas gempa yang terpantau di jalur sesar, meskipun dalam magnitudo kecil 2,3–3,1," kata dia.
Dengan data-data sejarah dan kajian geofisika terbaru, wilayah megapolitan Jabodetabek yang dihuni 29.116.662 jiwa atau sekitar 11 persen dari penduduk Indonesia ini memiliki kerentanan gempa bumi.
Endra Gunawan, peneliti geofisika yang juga dosen di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, mengatakan, masyarakat perlu diedukasi sehingga bisa memitigasi ancaman gempa tersebut.
"Ini memang agak sensitif karena berkaitan dengan daerah yang padat penduduk. Tetapi, harus disampaikan apa adanya bahwa dari sisi sains, zona tektonik di selatan Jakarta memang aktif," kata dia.
Endra yang terlibat dalam serangkaian studi kegempaan di Jawa, khususnya sekitar Jakarta ini, menjelaskan, kerentanan bencana di Jakarta dan sekitarnya ini perlu dikomunikasikan ke masyarakat.
Sehingga dengan mengetahui potensi ancaman bencana tersebut bisa harus mulai dipersiapkan mitigasinya.
"Selain tata ruang dan tata bangunan, juga edukasi dan pelatihan menghadapi gempa perlu disiapkan secara rutin," imbuhnya.
Daryono juga mengingatkan pentingnya membangun kesiapsiagaan gempa di Jakarta dan sekitarnya. Apalagi, risiko guncangan karena gempa di Jakarta dan sekitarnya bisa diamplifikasi oleh kondisi tanah yang lunak karena tersusun endapan muda.
Dia mengingatkan kejadian gempa bumi berkekuatan M 5,8 dari zona subduksi yang melanda Jakarta pada 17 Maret 1997 yang menimbulkan kerusakan bangunan tembok di beberapa gedung di kawasan Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin.
Demikian halnya gempa berkekuatan M 6,7 di Selat Sunda pada Jumat, 14 Januari 2022 pukul 16.05 yang menimbulkan kerusakan dan dirasakan cukup kuat hingga Jakarta.
Padahal, potensi kegempaan dari zona subduksi di Jawa bagian barat ini bisa mencapai M 8,8, yang jika saatnya itu terjadi, dampak guncangannya hingga Jakarta pasti jauh lebih hebat. Bisa lebih masif dampaknya sebagaimana terjadi pada tahun 1699.
Belum lagi, ancaman gempa bersumber di daratan dari Sesar Baribis yang bisa menimbulkan guncangan hebat sebagaimana terjadi pada 1780 dan 1834 di Jakarta dan sekitarnya.
Dengan kepadatan penduduk yang berlipat dibandingkan seabad lalu, dampaknya bisa sangat dahsyat.
"Ini yang patut diwaspadai. Kita punya banyak bukti catatan gempa kecil bahkan dengan magnitudo 4,5 mampu menimbulkan kerusakan karena hiposenternya dangkal dengan episenternya dekat dengan permukaan," ujar Daryono.
Tetapi, jika ternyata gempa yang terjadi memiliki magnitudo lebih besar tentu potensi kerusakannya pun akan semakin besar.
1. Mewujudkan bangunan tahan gempa dengan struktur yang kuat serta perencanaan tata ruang berbasis risiko gempa yang mengacu pada peta mikrozonasi bahaya gempa dalam skala detil.
2. Seluruh lapisan masyarakat perlu memahami keterampilan cara selamat saat terjadi gempa, perlu ada edukasi massif dan latihan evakuasi yang berkelanjutan.
Daryono mengatakan, edukasi dan latihan evakuasi ini tidak hanya untuk antisipasi gempa akibat Sesar Baribis, tapi juga untuk antisipasi potensi gempa megathrust yang sumbernya jauh dan dapat berdampak hingga Jakarta. (irv)