Kritik Konstruktif: Pengawalan Konstitusional untuk Prabowo-Gibran Demi Kemajuan Bangsa

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka
Sumber :
  • VIVA.co.id

Bandung, VIVA – Beberapa pihak yang kalah dalam kontestasi politik belakangan ini mengangkat isu dugaan keterlibatan Wakil Presiden Terpilih, Gibran Rakabuming Raka dalam akun anonim “Fufufafa.” Mereka menuduh tindakan tersebut melanggar etika publik dan moralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang pejabat publik. Meski demikian, banyak yang menilai bahwa tuduhan ini lebih didorong oleh kepentingan politik daripada bukti yang jelas.

Tuduhan pelanggaran terhadap etika publik seolah berfokus pada harapan bahwa Wakil Presiden harus menjadi teladan dalam perilaku publik dan pribadi. Menggunakan platform anonim untuk menyerang pihak lain jelas bertentangan dengan norma etika pejabat publik. Namun, hingga kini, belum ada bukti hukum yang mengaitkan Gibran dengan akun tersebut. Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) telah menyatakan bahwa Gibran tidak terkait dengan akun itu, mengindikasikan bahwa tuduhan ini lebih bersifat spekulatif.

Selain itu, pelanggaran hukum yang dikaitkan dengan fitnah dan penghinaan di media sosial sering dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jika benar ada bukti keterlibatan, hukum harus ditegakkan. Namun, proses hukum harus dijalankan secara adil, bukan hanya berdasarkan asumsi atau tekanan politik.

Para pengkritik yang menyerukan pemakzulan juga sering kali mengabaikan prosedur formal yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945, yang menyatakan bahwa Presiden atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran berat seperti korupsi, pengkhianatan, atau tindakan yang jelas merugikan negara.

Di sisi lain, beberapa pihak menganggap bantahan Gibran mengenai keterkaitan dengan akun tersebut sebagai bentuk kebohongan publik. Jika terbukti, kebohongan ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap dirinya. Namun, semua tuduhan masih bersifat spekulatif, dan tanpa bukti kuat, upaya mengaitkan tindakan ini dengan delegitimasi seorang pejabat tinggi tampaknya lebih merupakan strategi politik pasca-kekalahan pemilu.

Ketua Jaringan Aktivis Nusantara, Romadhon Jasn

Photo :
  • Istimewa

Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN), Romadhon Jasn menegaskan bahwa kritik merupakan elemen penting dalam demokrasi. Kritik konstruktif, menurutnya, diperlukan untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Namun, ia juga memperingatkan bahwa kritik yang mengarah pada kekacauan politik atau destabilisasi negara berbahaya dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. 

“Setiap pemimpin, termasuk Prabowo dan Gibran harus terbuka terhadap kritik. Kritik adalah bagian dari kontrol sosial yang sehat. Tapi perlu digarisbawahi bahwa kritik yang menciptakan chaos justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi,” tegas Romadhon dalam rilisnya, Senin (30/9/2024)

Romadhon juga mengingatkan bahwa sesuai Pasal 7A UUD 1945, setiap tindakan pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden harus dilakukan melalui mekanisme hukum yang jelas dan bukan sekadar berdasarkan desakan politik. Hukum harus menjadi dasar tindakan, bukan asumsi.

Romadhon menekankan pentingnya menjaga stabilitas politik sebagai landasan untuk memajukan bangsa. Ia mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pembangunan ekonomi hingga infrastruktur.

“Lebih baik kita fokus memastikan janji-janji politik Prabowo-Gibran direalisasikan demi kemajuan bangsa,” ujarnya.

Lebih lanjut, Romadhon mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersikap positif dan konstruktif dalam mengawal pemerintahan. Stabilitas politik adalah kunci keberhasilan pembangunan, dan dengan bekerja sama, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencapai cita-cita nasional. 

“Negara ini dibangun di atas prinsip hukum, bukan desakan politik sepihak. Mari kita jaga ketertiban dan bersama-sama mengawal pemerintahan ini menuju masa depan yang lebih baik,” tutup Romadhon.