Mojang Inspiratif dari Lereng Gunung Geulis: Kisah Ellysa dan Perjuangannya Melestarikan Lingkungan
- Dokumentasi Narasumber
VIVABandung – Di kaki Gunung Geulis, sosok muda bernama Ellysa Dwi Haerani membuktikan bahwa usia bukan penghalang untuk membawa perubahan positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Mojang kelahiran Sumedang, 21 November 1995 ini berhasil mengukir prestasi membanggakan melalui dedikasi dan kepeduliannya terhadap konservasi lingkungan di kawasan Buffer Zone Gunung Geulis.
Putri pasangan Hendra dan Delis ini berhasil mengukir prestasi membanggakan melalui penghargaan SATU Indonesia Awards (SIA) 2017 dalam Kategori Lingkungan. Pencapaian ini bukan sekadar pengakuan pribadi, melainkan bukti nyata keberhasilan program Konservasi Ekonomi Buffer Zone Gunung Geulis yang ia inisiasi.
Program yang diinisiasinya berawal dari tantangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad pada tahun 2017 untuk membuat program bagi masyarakat sekitar kampus.
Setelah melakukan survei, mereka memilih Gunung Gelis sebagai lokasi konservasi karena memiliki potensi ekonomi dan dapat dikelola secara berkelanjutan oleh warga lokal.
"Ada potensi lokasi atau area yang bisa kita kembangkan jadi konservasi ekonomi.Tidak hanya konservasi di tanam, tapi juga bisa menghasilkan dan juga jadi pemasukan untuk warga lokal disana," jelasnya saat diwawancarai secara daring.
Program ini mendapat dukungan pendanaan dari berbagai pihak, termasuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kementerian Teknologi dan PT Astra International melalui SATU Indonesia Awards 2017. Keberhasilan ini menjadi modal awal bagi keberlanjutan program hingga saat ini.
Konservasi di Gunung Gelis difokuskan pada penanaman berbagai jenis tanaman. Warga lokal dilibatkan dalam pengelolaan konservasi dan memperoleh penghasilan dari hasil panen. Ellysa dan timnya juga membangun base camp dan saung di lokasi konservasi untuk memudahkan kegiatan pengelolaan dan panen.
Dampak program ini terlihat dari sisi ekonomi melalui hasil panen yang dijual ke pasar-pasar sekitar Jatinangor setiap tiga hingga lima bulan sekali. Program ini juga melibatkan sekitar 7-9 orang pengurus inti dari warga lokal yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tanaman dan karakteristik Gunung Geulis.
"Untuk instrumen lainnya mungkin yang dilibatkan dalam jangka panjang ini, Kecamatan Jatinangor. Jadi kita tetap membangun komunikasi dengan mereka sampai saat ini agar program ini bisa berkelanjutan," tambah Ellysa.
Ke depannya, Ellysa dan tim berencana untuk mengembangkan kawasan ini tidak hanya sebagai area konservasi dan pertanian, tetapi juga sebagai destinasi wisata. Mereka juga terus berupaya memperbaiki sistem operasional internal sebelum mencari pendanaan lebih lanjut dari pihak swasta.
Kawasan ini juga menjadi laboratorium hidup bagi mahasiswa dan peneliti. "Dalam 3 bulan adalah 1 atau 2 permintaan untuk datang ke lokasinya langsung. Karena itu membantu penelitian mereka juga katanya," jelas Ellysa.
Melalui programnya, Ellysa berharap dapat menginspirasi generasi muda, khususnya mahasiswa di kawasan Jatinangor, untuk berkolaborasi dengan masyarakat lokal.
"Semoga semangat kami memberikan inspirasi juga untuk mahasiswa-mahasiswa. Atau mungkin tidak harus mahasiswa ya, bisa siswa SMA gitu maupun warga-warga lokal yang masih muda," tutupnya.
Dedikasi Ellysa dalam menjaga keseimbangan antara konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat menjadi bukti nyata bahwa generasi muda Sunda mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Inisiatif ini menjadi contoh nyata bagaimana mahasiswa dapat berkontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar kampus.
"Kalau misalnya lihat ada potensi-potensi yang bisa dikembangkan, bermanfaat buat masyarakat, kenapa tidak?" tantang Ellysa kepada generasi muda. Menurutnya, saat ini akses dukungan dan pendanaan jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya.
Di balik sosoknya yang lemah lembut khas mojang Sunda, Ellysa menyimpan tekad baja untuk terus berkontribusi bagi kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Kiprahnya membuktikan bahwa perubahan positif bisa dimulai dari hal kecil dan dari siapa saja, termasuk dari seorang mojang geulis dari lereng Gunung Geulis
VIVABandung – Di kaki Gunung Geulis, sosok muda bernama Ellysa Dwi Haerani membuktikan bahwa usia bukan penghalang untuk membawa perubahan positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Mojang kelahiran Sumedang, 21 November 1995 ini berhasil mengukir prestasi membanggakan melalui dedikasi dan kepeduliannya terhadap konservasi lingkungan di kawasan Buffer Zone Gunung Geulis.
Putri pasangan Hendra dan Delis ini berhasil mengukir prestasi membanggakan melalui penghargaan SATU Indonesia Awards (SIA) 2017 dalam Kategori Lingkungan. Pencapaian ini bukan sekadar pengakuan pribadi, melainkan bukti nyata keberhasilan program Konservasi Ekonomi Buffer Zone Gunung Geulis yang ia inisiasi.
Program yang diinisiasinya berawal dari tantangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad pada tahun 2017 untuk membuat program bagi masyarakat sekitar kampus.
Setelah melakukan survei, mereka memilih Gunung Gelis sebagai lokasi konservasi karena memiliki potensi ekonomi dan dapat dikelola secara berkelanjutan oleh warga lokal.
"Ada potensi lokasi atau area yang bisa kita kembangkan jadi konservasi ekonomi.Tidak hanya konservasi di tanam, tapi juga bisa menghasilkan dan juga jadi pemasukan untuk warga lokal disana," jelasnya saat diwawancarai secara daring.
Program ini mendapat dukungan pendanaan dari berbagai pihak, termasuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kementerian Teknologi dan PT Astra International melalui SATU Indonesia Awards 2017. Keberhasilan ini menjadi modal awal bagi keberlanjutan program hingga saat ini.
Konservasi di Gunung Gelis difokuskan pada penanaman berbagai jenis tanaman. Warga lokal dilibatkan dalam pengelolaan konservasi dan memperoleh penghasilan dari hasil panen. Ellysa dan timnya juga membangun base camp dan saung di lokasi konservasi untuk memudahkan kegiatan pengelolaan dan panen.
Dampak program ini terlihat dari sisi ekonomi melalui hasil panen yang dijual ke pasar-pasar sekitar Jatinangor setiap tiga hingga lima bulan sekali. Program ini juga melibatkan sekitar 7-9 orang pengurus inti dari warga lokal yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tanaman dan karakteristik Gunung Geulis.
"Untuk instrumen lainnya mungkin yang dilibatkan dalam jangka panjang ini, Kecamatan Jatinangor. Jadi kita tetap membangun komunikasi dengan mereka sampai saat ini agar program ini bisa berkelanjutan," tambah Ellysa.
Ke depannya, Ellysa dan tim berencana untuk mengembangkan kawasan ini tidak hanya sebagai area konservasi dan pertanian, tetapi juga sebagai destinasi wisata. Mereka juga terus berupaya memperbaiki sistem operasional internal sebelum mencari pendanaan lebih lanjut dari pihak swasta.
Kawasan ini juga menjadi laboratorium hidup bagi mahasiswa dan peneliti. "Dalam 3 bulan adalah 1 atau 2 permintaan untuk datang ke lokasinya langsung. Karena itu membantu penelitian mereka juga katanya," jelas Ellysa.
Melalui programnya, Ellysa berharap dapat menginspirasi generasi muda, khususnya mahasiswa di kawasan Jatinangor, untuk berkolaborasi dengan masyarakat lokal.
"Semoga semangat kami memberikan inspirasi juga untuk mahasiswa-mahasiswa. Atau mungkin tidak harus mahasiswa ya, bisa siswa SMA gitu maupun warga-warga lokal yang masih muda," tutupnya.
Dedikasi Ellysa dalam menjaga keseimbangan antara konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat menjadi bukti nyata bahwa generasi muda Sunda mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Inisiatif ini menjadi contoh nyata bagaimana mahasiswa dapat berkontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar kampus.
"Kalau misalnya lihat ada potensi-potensi yang bisa dikembangkan, bermanfaat buat masyarakat, kenapa tidak?" tantang Ellysa kepada generasi muda. Menurutnya, saat ini akses dukungan dan pendanaan jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya.
Di balik sosoknya yang lemah lembut khas mojang Sunda, Ellysa menyimpan tekad baja untuk terus berkontribusi bagi kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Kiprahnya membuktikan bahwa perubahan positif bisa dimulai dari hal kecil dan dari siapa saja, termasuk dari seorang mojang geulis dari lereng Gunung Geulis
/span>