Memotret Politik Pendidikan

Guru Besar Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Asep Sunandar, S.Pd. M.AP
Sumber :
  • Dokumentasi Pribadi

VIVA Bandung – Kegempitaan Pemilu 2024 telah membahana ke seluruh pelosok Indonesia, di kampus, kafe-kafe, warung kopi terminal hingga statsiun obrolan masyarakat bisa dipastikan bertemakan politik. Para kandidat presiden dan legislatif sibuk berlomba menarik simpati dan hati rakyat. KPU secara resmi telah menyelenggarakan dua kali debat kandidat presiden dan wapres. Dari 2 kali debat tersebut tema pendidikan belum terbahas, hanya sebatas irisan pada saat para kandidat berbicara tentang infrastruktur fisik dan SDM. Rupanya isu Pembangunan pendidikan belum menjadi isu seksi dan diutamakan dalam Pembangunan Indonesia 5 tahun ke depan. Hal ini yang ingin saya ingatkan kepada para kandidat presiden dan legislalif.

Program Indonesia Pintar Jamin Pendidikan Gratis dari SD hingga SMA

Secara electoral masyarakat yang berprofesi dalam bidang pendidikan baik itu sebagai guru, tenaga kependidikan dan dosen hampir mencapai 5%, Dimana 3.357.935 orang guru dan tenaga kependidikan dan dosen sebanyak 316.912 orang. Jika di prosentasikan dari jumlah pemilih yang diumumkan KPU sebanyak  204.807.222 maka pemilih yang berprofesi di dunia pendidikan sebanyak 1,7 %. Memang Nampak kecil namun jika ditambah istri/suami atau anaknya maka bisa berpangkat 3 maka akan mendekati angka 5%. 

Berbicara politik pendidikan tidak hanya sebatas, jumlah pemilih namun lebih luasnya mengarah kepada Pembangunan SDM. Berkaca kepada laporan PISA 2023 yang menunjukkan potensi kemampuan siswa Indonesia hanya di grade 2 dan Sebagian kecil di grade 3 maka kita diberi gambaran di masa depan Indonesia masih akan menghadapi kualitas SDM yang rendah. Evaluasi terhadap kebijakan pendidikan dan Pembangunan SDM pada keseluruhan perlu dievaluasi, apa penyebab dari rendahnya literasi, numerasi dan sains. Mengapa pelajar Indonesia belum menggemari kegiatan membaca, matematikan dan ilmu sains. Berbagai pergantian kurikulum yang hampir terjadi setiap berganti rezim tidak pernah menghasilkan perubahan, untuk mengangkat Indonesia dari klasemen dasar rangking negara-negara yang dinilai PISA OECD. Kebijakan pendidikan dasar gratis dan BOS yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun, belum mampu mengangkat prestasi Indonesia di dunia pendidikan. Apa penyebab utamanya itu pun belum mampu ditemukan dan diatasi.

DTKS Penting? Ini Kaitannya dengan Data PIP dan KIP Kuliah

Adu gagasan diantara kandidat presiden dan wakil presiden baru sebatas wacana dan saling mempertahankan visi misi dan pemikirannya. Para kandidat masih sibuk memikirkan bahwa idenya yang paling benar dan bagaimana menjatuhkan lawannya dihadapan public, sehingga yang bersangkutan mendapat simpati public. Saya dan kita tentu berharap pada debat Capres dan Cawapres dimasa yang akan datang sudah mengerucut pada program-program kongkrit, apa yang akan dilakukan para kandidat untuk mengatasi permasalahan bangsa di masa depan.

Orientasi Politik Pendidikan

Profil Hasto Kristiyanto: Dari Notulis PDIP hingga Tersangka KPK

Politik sebagai sebuah aktivitas yang berorientasi pada diperolehnya mandat, kewenangan dan kekuasaan untuk mengatur negara dan rakyat dengan tujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kegiatan politik pada umumnya diterjemahkan secara sempit yaitu untuk meraih kekuasaan semata. Dimana pada akhirnya orang yang berpikiran sempit menggunakan kekuasaan yang diperoleh hanya untuk memperkaya diri sendiri dan memberikan kemudahan kepada kroni-kroninya. Politik sempit inilah yang pada akhirnya membawa penyakit korupsi kolusi dan nepotisme. 

Pendidikan sebagai salah satu bidang dalam Pembangunan bangsa Indonesia memiliki beberapa orientasi politik. Oreintasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah komponen utama yang perlu diperhatikan dalam Pembangunan bidang pendidikan. yaitu:

1. Falsafah Pembangunan Pendidikan

Pada konteks ini penulis menyebutnya falsafah bukan filsafat, maknanya adalah untuk menunjukkan bahwa hal ini menjadi dasar yang harus diterapkan tidak hanya sebatas tinjauan pemikiran. Falsafah Pembangunan pendidikan bukan hanya pilihan pendekatan filsafat idealisme, realisme, emperisme hingga post modern namun dasar filsafat yang harus diterapkan. Kita bangsa Indonesia memiliki falsafah Pembangunan Pancasila kebinekaan keberagaman dan kesatuan. Walaupun berbeda-beda namun kita memiliki rasa persatuan yang kuat. Pembangunan pendidikan harus didasarkan pada falsafah keberagaan dalam kebersamaan. Pemikiran ini masih kami sampaikan mengingat masih banyak lembaga pendidikan yang diskriminatif, tidak mau menerapkan konsep inklusif dan bahkan masih mempertahakan ego sectoral berbau RAS. Kasus penolakan siswa disabilitas, siswa korban kekerasan seksual, siswa korban narkotika menandakan bahwa pendidikan kita belum bisa menerapkan konsep keberagaman dalam kesatuan. Terlebih pada kasus-kasus yang berbau suku ras dan agama, walaupun tidak mencuat ke public namun kasus tersebut masih ada, sebut saja pada pelajaran agama, dunia pendidikan kita belum bisa menyediakan fasilitas pembelajaran agama yang sejalan dengan keyakinan siswa. Di daerah yang mayoritas muslim, sekolah belum bisa memberikan layanan pendidikan agama yang optimal bagi siswa selain beragama Islam, begitu halnya didaerah yang mayoritas beragama Kristen siswa beragama Islam juga belum mendapatkan layanan belajar yang optimal sesuai dengan syariah agama Islam. Permasalahan ini bukan menjadi tanggungjawab semata kepala sekolah dan guru, namun harus menjadi kebijkan pemerintah pusat, agar implementasinya dapat dilaksanakan menyeluruh dan merata.

2. Kesejahteraan Akademik Pendidik

Kesejahteraan dalam konteks ini dipadukan dengan istilah akademik, sehingga bukan hanya sejahteran dalam konteks terpenuhinya kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan. Kesejahteraan akademik adalah terpenuhinya kebutuhan hidup layak dan kebutuhan peningkatan akademik seorang pendidik. Guru dan dosen adalah profesi yang menuntut perkembangan pengetahuan dan kemampuan yang terus menerus, seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi jaman. Kesejahteraan akademik pendidik harus dijamin oleh negara, Dimana negara berkewajiban memberikan insentif yang layak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan akademik pendidik. Kebutuhan akademik dipenuhi dengan peningkatan pendidikan formal guru dan dosen, negara dalam hal ini harus memberikan fasilitas kepada para guru untuk bisa melanjutkan pendidikan secara gratis. Pemerintah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, melakukan seleksi guru berkualitas dan diberikan fasilitas pendidikan gratis jenjang selanjutnya. Penulis menyarankan fasilitas tersebut tidak dalam bentuk kas, karena jika dalam bentuk kas seperti halnya tunjangan profesi guru dan dosen akhirnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Pemenuhi kesejahteraan akademik berikutnya bisa dalam bentuk fasilitasi untuk menghasilkan karya akademik, seperti buku, modul, artikel. Pemerintah dapat memberikan fasilitas penerbitan gratis bagi buku atau artikel yang sudah dihasilkan guru dan dosen. Fasilitasi berikutnya bisa dalam bentuk pemenuhan kebutuhan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan, dalam konteks ini penulis pun menyarankan tidak dalam bentuk nominal rupiah setiap riset. Namun pemerintah menyediakan semua fasilitas riset yang dibutuhkan seperti akses laboratorium yang tidak perlu bayar, perjalanan yang tidak perlu di SPJ kan, bahan-bahan penelitian atau responden riset yang sudah disediakan. Kesejahteraan akademik pendidik dapat disimpulkan pada dua kategori yaitu penuhi kebutuhan hidup layak pendidik dan penuhi kebutuhan dalam pengembangan akademiknya. 

3. Jaminan Masa Depan Lulusan

Lulusan lembaga pendidikan masih memilkul beban berat setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan. Setelah lulus dari perguruan tinggi masih harus berjuang mencari dan mendapatkan pekerjaan, jika kalah dalam bersaing maka menjadi beban orang tua berikutnya. Tidak sedikit lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran dan lebih banyak juga yang bekerja diluar keilmuan yang dipelajarinya. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk mengoptimalkan potensi warga negara terdidik tersebut. Penyaluran tenaga terdidik masih bersifat terbuka dan individual. Lulusan perguruan tinggi tidak bekerja atas dasar kebutuhan pekerjaan yang disediakan negara mereka bekerja hanya atas dasar lapangan pekerjaan yang ada. Hal ini akan berbeda jika Pembangunan negara dilaksanakan dengan orientasi yang jelas, semisal pada saat kita akan memperkuat sektor tambang, negara harus menghitung kebutuhan sarjana bidang pertambangan, perminyakan berapa dalam 5 tahun, begitu halnya sektor lainnya, misalkan negara akan menyediakan layanan pendidikan untuk berapa ribu siswa dalam 20 tahun yang akan datang, maka diperlukan berapa ribu lulusan sarjana pendidikan. Sektor pertanian juga harus diatur negara, kita akan memproduksi beras berapa juta ton, untuk keberhasilan sektor pertanian kehalian apa saja yang harus disiapkan dan berapa sarjana bidang pertanian dan teknologi hasil pertanian yang harus disiapkan. Jaminan masa depan lulusan pendidikan menggunakan teori demand and supplay dimana jika hal ini dapat dilaksanakan maka tidak akan ada lagi sarjana menganggur dan keahlian SDM yang terbuang sia-sia.

Penutup 

Kampanye pemilu memang selalu bernuansa angin surga, ada anekdot kalau belum terpilih merayu mendekati rakyat, namun jika sudah terpilih melupakan rakyat. Atau ada juga istilah penyakit 5 tahunan, ingat rakyat jika akan pemilu setelahnya sibuk untuk memperkuat kekuasaan. Maka rakyat menjadi apatis atas janji-janji politik, rakyat menjadi berpikiran pragmatis, karena janji-janji yang sering tidak dipenuhi. Rakyat lebih memilih 100 atau 200 ribu rupiah dibandingkan dengan program beasiswa pendidikan S1 gratis. Kampanye lebih efektif dengan nominal dibandingkan dengan paparan visi dan program hasil kajian akademik. Hal ini juga mengkondisikan para legislator yang tidak banyak menyiapkan amunisi kampanye dengan ide brilian dan pendekatan ke masyarakat yang simultan. Para calon legislator umumnya berpandangan buat apa pendekatan dan membangun kebersamaan dengan rakyat jika pada akhirnya ada “serangan fajar” yang membuat suara pemilih beralih ke yang memberi materi. Kesemerawutan politik Indonesia harus segera diakhiri, jika Indonesia ingin mewujudkan visi Indonesia emas 2045 maka sudah sepatutnya kita tinggalkan politik culas dan adu materi nominal, mari bangun Indonesia dengan pokitik sehat, tidak mendewakan materi, pilihlah Caleg dan Capres yang mempunyai ide dan gagasan serta niat suci untuk memajukan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. 

*) Penulis adalah Guru Besar Universitas Negeri Malang