Ketika 2 Tokoh Politik Dedi Mulyadi dan Fahri Hamzah Duduk Satu Meja
- istimewa
BANDUNG - Belum lama ini Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Dedi Mulyadi bertemu politisi Fahri Hamzah di rumahnya. Banyak hal yang terungkap dari obrolan santai keduanya mulai dari yang serius hingga kisah tak terduga.
“Ini politisi yang gak ada takutnya, kalau ngomong selalu terbuka,” ucap Kang Dedi Mulyadi saat bertemu dengan Fahri Hamzah, Senin 16 Januari 2023.
Di pertemuan itu Fahri bercerita kehidupannya yang sejak lahir hingga usia SMA tinggal di salah satu desa di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Lulus SMA ia kemudian memiliki mimpi kuliah di ITB.
Untuk mengejar mimpinya Fahri menuju Bandung menggunakan bus. Di Bandung ia menginap di rumah kakak ibunya yang seorang pastor. Di sana ia mengikuti ujian untuk masuk universitas negeri.
“Namanya orang kampung melihat soalnya ternyata susah banget, kemudian saya pilihan duanya ke Universitas Mataram,” kata Fahri.
Setahun kuliah di Mataram, Fahri ikut kembali ujian masuk universitas negeri. Dan kali ini ia lolos ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI). “Saya masuk tahun 1992. Begitu saya kuliah dikenalkan dengan dosen akademik yang baru pulang dari Amerika Serikat namanya Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan sekarang,” ucapnya.
Fahri mengaku kerap dimarahi oleh Sri Mulyani lantaran sebagai seorang aktivis ia kerap tak masuk kelas. Dan saat ini ia masih kerap ‘bertengkar’ dengan Sri Mulyani karena perbedaan pendapat. Selain itu saat kuliah ia kerap menghadiri pengajian yang digelar Gus Dur di Ciganjur. “Saya kan di Depok, jalan tuh ke Ciganjur sekitar satu jam,” ucapnya.
Rupanya kuliah Fahri di Fakultas Ekonomi sejalan dengan kesenangannya sejak kecil yakni berdagang. Fahri kecil paling suka berdagang terlebih saat musim kampanye tiba. “Saya waktu kecil paling suka dagang apalagi waktu musim kampanye partai Golkar. Karena kalau kampanye partai lain PDI dan PPP yang hadir sedikit, Golkar banyak, jualan laku. Saya jualan permen, kue,” katanya.
Hubungan Fahri dan Sri Mulyani tidak hanya sampai di tingkat S1. Keduanya pun kembali memiliki hubungan saat Fahri melanjutkan kuliah ke jenjang S2. “Jadi waktu itu ada program baru S2 Magister Kebijakan Publik, nah Ibu Sri jadi ketua program baru itu. Saya kuliah di situ bareng dengan Pak Anis Matta juga,” ujarnya.
Dedi lantas menanyakan sosok Fahri yang sejak dulu hingga sekarang konsisten memiliki daya kritis yang tinggi. Padahal saat ini banyak orang justru menurun daya kritisnya. Fahri mengatakan, hal tersebut lantaran ia berasal dari kampung sehingga apa yang ia lihat dan rasakan akan diungkap secara benar tanpa ada pengaruh dari mana - mana.
“Saya cuma terbiasa itu saja, apa yang saya lihat dan pikirkan itulah yang saya anggap benar itulah yang saya katakan,” kata Fahri.
Sebagai politisi, Fahri juga banyak mendengar dan merasakan temannya mengeluh padanya yang kritis. Namun ia berkeyakinan bahwa urusan publik dan objektif tidak bisa diselesaikan dengan ‘pertemanan’. Kang Dedi Mulyadi pun memuji sosok Fahri yang merupakan orang desa namun bisa berkiprah di nasional.
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari Fahri adalah sosoknya yang gemar membaca, aktif di organisasi dan memiliki keberanian. “Dan saya katakan, yang punya keberanian saat ini adalah orang desa. Karena orang desa itu begitu masuk kota gak tau siapa premannya,” kelakar Kang Dedi yang disambut tawa Fahri Hamzah.
Pada obrolan tersebut Kang Dedi juga berdiskusi pendapat Fahri mengenai isu sistem pemilu tertutup. Bagi Fahri hal tersebut sebuah pemikiran keliru yang seharusnya demokrasi di Indonesia tetap pada sistem pemilihan terbuka.
Menurutnya sistem tertutup hanya akan memunculkan penguasa yang berada di ruang tertutup bernama partai politik. Padahal secara prinsip demokrasi diserahkan kepada rakyat.
"Dalam feodalisme organisasi seperti parpol dan negara yang penting, tapi dalam demokrasi justru manusianya yang penting. Oleh sebab itu keberadaan struktur tidak boleh membelenggu kebebasan orang sebab kekuatan kita itu bersumber dari kreativitas seseorang bukan keserempakan barisan saja," ujar Fahri.
Hal tersebut, kata Fahri, mirip dengan kehidupan beragama khususnya Islam. Di mana dalam agama terpenting adalah hubungan manusia dengan tuhan. "Sekarang ini dalam agama hubungan emosional manusia dengan tuhan hilang karena yang menonjol dalam agama adalah strukturnya," timpal Kang Dedi.
Kang Dedi pun heran mengapa setiap menjelang pemilu akan selalu muncul problem terkait rencana mengubah undang-undang pemilu.
Fahri menilai hal itu mencerminkan pembuat undang-undang tidak visioner dalam berkompetisi. Seharusnya sebelum membuat sebuah aturan dipikirkan terlebih dahulu secara matang. Jika sistem pemilihan dilakukan secara tertutup dikhawatirkan hanya akan membuat sistem demokrasi mengalami kemunduran dan hanya menguntungkan bagi pengurus partai. "Kan pesta rakyat seharusnya, kalau tertutup berarti pesta pengurus partai," ujar Fahri Hamzah. (bdg)