Nelayan Makin Tak Terlindungi Negara, Bank Emok Merajalela
- istimewa
BANDUNG - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi Golkar, Dedi Mulyadi mengaku khawatir suatu saat laut akan dikuasai oleh kapal asing lantaran nasib nelayan di Indonesia semakin terpuruk.
Hal tersebut diungkapkan Dedi Mulyadi saat memimpin rapat kerja bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di Gedung DPR RI, Selasa 17 Januari 2023.
“Kita memahami kehidupan nelayan itu dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan kehidupan yang memadai di hampir seluruh pantai,” ujar Kang Dedi.
Menurutnya nelayan berbeda dengan petani yang masih bisa menyimpan padi di gudang atau leuit. Sementara nelayan yang saat ini sedang mengalami paceklik ikan tak bisa menyimpan apa-apa sebagai bekal hidup.
Pada masa paceklik ikan seperti saat ini, nelayan semakin terpuruk dengan mendominasinya rentenir, bank keliling atau bank emok yang memberikan pinjaman dengan bunga besar.
“Kemudian nelayan membayar setelah bisa melaut, sehingga terjadi penumpukan utang,” katanya.
Selain itu areal pemukiman nelayan mayoritas sanitasinya buruk. Ditambah banyak rumah tak memiliki toilet, rumah ditempati oleh banyak kepala keluarga, hingga tak adanya hak kepemilikan tanah. Sehingga, kata Kang Dedi, ketika ada pembangunan kawasan bisnis, kampung nelayan cepat mengalami kerusakan lingkungan bahkan abrasi.
“Tingkat fokus PUPR kurang di laut banyaknya di darat. Sedangkan KKP sangat terbatas pada aspek penanganan di daerah bencana. Tidak ada salahnya KKP membentuk satu dirjen khusus tangani infrastruktur laut agar infrastruktur laut kita terbenahi baik, agar kita kunjungan ke mana-mana tidak itu-itu juga usulannya pengerukan, abrasi pantai,” ucapnya.
Keterpurukan nelayan juga semakin bertambah karena daya jelajah mereka mencari ikan semakin berkurang akibat naiknya harga BBM dan keterbatasan kapal atau perahu yang dimiliki. Sehingga nelayan hanya bisa mencari ikan kecil di sekitar pantai.
“Kalau kita tidak melakukan perubahan manajemen penangan kelautan, suatu saat nanti yang melakukan penangkapan ikan hanya orang kaya, orang bermodal. Atau bisa jadi suatu saat nanti yang berbisnis ikan dan melakukan pengelolaan di Indonesia adalah kapal asing berbendera Indonesia, dan itu kan terjadi,” kata Kang Dedi.
Kemungkinan tersebut, kata Dedi, semakin diyakini karena anak muda atau milenial kini sudah malas menekuni kelautan sama halnya dengan pertanian. “Karena bagi mereka tidak ada perubahan nasib,” ucapnya.
Menurutnya KKP harus menguatkan paradigma kelautan agar program yang ada dari tahun ke tahun terus sama. Program tersebut harus mengarah pada rencana besar untuk mengubah nasib nelayan dengan berbagai skema dan kebijakan yang memadai.
“Jadi angka Rp6,7 triliun (anggaran KKP) tidak ada arti dibanding luasnya laut kita. Ditambah lagi program kita tidak mendasar, makin tidak terlindungi nelayan kita. Nelayan kita tidak dilindungi di rumahnya, karena rumahnya saja sudah tidak layak huni,” katanya.
Pria yang identik dengan iket putih itu berharap nasib nelayan di Indonesia bisa berubah mulai dari kepemilikan rumah yang layak huni, lingkungan yang bersih, kepemilikan kapal yang baik dan kemampuan permodalan yang memadai.
“Sehingga di laut kita harus tetap jaya selamanya. Karena kalau kita tidak merubah paradigma kita tentang kelautan maka makin lama kita akan makin miskin di negeri kita sendiri,” pungkasnya. (bdg)