Bak Tokoh Yakuza, Hoho Sosok Kades Bertato Asal Banjarnegara
- Istimewa
BANDUNG – Seorang kepala desa (kades) asal Desa Purwasaba, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, viral karena penampilannya berbeda dengan yang lain.
Betapa tidak, kades bernama Welas Yuni Nugroho itu sekujur tubuhnya mulai dari kepala, tangan, badan, punggung hingga kaki dipenuhi oleh tato. Ditambah dua anting tersemat di telinganya.
Penampilan pria karib disapa Hoho ini justru lebih mirip seperti Yakuza asal Jepang yang identik dengan tato di sekujur tubuh dibanding dengan profesi aslinya sebagai pemimpin desa.
Belum lama ini Kang Dedi Mulyadi bertamu ke rumah Hoho di Banjarnegara. Di pertemuan tersebut terungkap banyak kisah yang bisa menginspirasi generasi untuk menjadi pemimpin masa depan.
Hoho merupakan pria kelahiran 1983 dan lulus sebagai sarjana hukum di Universitas Islam Sultan Agung. Jiwa kepemimpinannya merupakan buah turunan dari bapaknya.
"Kakek saya awalnya kades seumur hidup, kemudian bapak Anggota DPRD empat periode, di periode terakhir baru beberapa waktu dilantik diminta oleh warga untuk jadi kepala desa. Akhirnya bapak mengundurkan diri dan pilih jadi kepala desa," ujar Hoho.
Setelah bapaknya, jabatan kades turun ke paman Hoho. "Sesudah paman, ganti orang lain satu periode, kemudian satu periode lagi orang lain. Barulah setelah itu masyarakat meminta saya untuk meneruskan (jadi kades)," ucapnya.
Pria nyentrik ini tak menampik jika sosoknya yang dulu disebut nakal. Namun pasca bapaknya meninggal pada tahun 2008, Hoho mulai mengevaluasi diri dan berubah ke arah yang lebih baik.
Hingga akhirnya Hoho pun diminta dan dipercaya untuk memimpin desa yang sudah turun menurun dari keluarganya. "Sekarang saya jadi kades sudah tiga tahun dua bulan. Kalau bagi saya mau jadi kades enam tahun, sembilan tahun atau 10 tahun gak masalah, yang penting kerja berguna untuk warga," katanya.
Saat pelantikan sebagai kades, Hoho mengatakan penampilannya tidak berubah. Bahkan ia tetap menggunakan kedua antingnya. Ia ingin memimpin dengan apa adanya tanpa merubah yang sudah ada.
"Orang sini sudah tidak berpikiran fisik seperti tato, yang penting kerja," ucap Hoho.
Rupanya Hoho sendiri sudah mulai menato tubuhnya pada kelas 2 SMP. Ia baru ketahuan oleh orangtuanya saat sudah masuk SMA. Barulah setelah lulus SMA dan berkuliah ia mulai terbuka dan orangtuanya sudah bisa menerima.
Setiap tato memiliki makna tersendiri bagi Hoho. Mulai dari tato bergambar Garuda Wisnu Kencana (GWK) di kepala hingga tato ikan koi di kakinya yang merujuk pada simbol keberuntungan.
Disinggung Kang Dedi apakah akan maju kembali pada periode selanjutnya, Hoho mengaku akan menuruti kemauan warga. Jika diminta kembali maju maka ia pun siap.
"Kuncinya di masyarakat. Kalau masyarakat menghendaki maju, ya maju. Kalau kita maju tapi masyarakat tidak mendukung, ya buat apa," katanya.
Terakhir, Hoho berpesan pada masyarakat bertato untuk berkontribusi bagi warga. Ia tak ingin masa lalu seseorang malah membatasi untuk berbuat kebaikan di masa yang akan datang.
Sementara itu Kang Dedi Mulyadi tak menyangka di balik fisiknya yang nyentrik ternyata Hoho adalah sosok yang dicintai oleh warganya. Hal tersebut terbukti dari beberapa orang yang ditemui Kang Dedi dan mengakui soal kebaikan Hoho.
"Sebelum saya ke sini, ada lima orang yang saya tanya di jalan. Saya bertanya bener gak Pak Kades baik, dan orang jawab baik bahkan suka kasih uang katanya," ucap Kang Dedi.
Menurutnya sejak dulu hingga sekarang tato diidentikan dengan sosok preman atau orang yang tidak baik. Padahal baginya tato hanya sebuah karya seni.
Sehingga, kata Dedi, pemikiran mayoritas masyarakat Indonesia yang selalu memandang fisik dan penampilan harus diubah. "Masyarakat Indonesia harus mulai terbuka, jangan lihat orang dari fisik penampilan tapi dari karya dan amal perbuatan seperti Pak Kades Hoho ini," katanya.
Viralnya Hoho pun bisa menjadi spirit baru bagi masyarakat Indonesia bahwa tidak semua anak muda yang dianggap kontroversial dicap tidak baik. Padahal di balik itu semua terdapat kesungguhan untuk berkarya dan mengabdi pada negeri.
"Tato karya seni yang bisa mengekspresikan identitas manusia dan orang bertato bukan orang jahat tapi sama seperti orang lain yang berhak memberikan karya terbaik untuk bangsa ini. Ini semangat untuk anak muda untuk berkarir mulai dari kades, bupati kemudian jadi gubernur," pungkas Kang Dedi Mulyadi.