Ponpes Al Zaytun Pernah Sandera 2 Santri karena Tak Mampu Bayar Sekolah
VIVA Bandung – Masyarakat Indonesia tengah dihebohkan kembali dengan kontroversi yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al Zaytun Indramayu.
Setelah viral karena santrinya menyanyikan lagu Yahudi dan diajarkan salam kristen, baru-baru ini ponpes yang terletak di Desa Mekarjaya Kecamatan Gantar itu diduga menghalalkan zina karena dosanya bisa ditebus dengan uang.
Sontak saja kontroversi tersebut mengungkapkan kisah lama yang juga pernah terjadi di ponpes dibawan pimpinan Panji Gumilang itu.
Melansir VIVA.co.id, Ponpes Al Zaytun pernah menyandera dua orang santri berinisial IF dan PR lantaran belum membayar uang sekolah yang mencapai Rp43 juta.
Ayah dari kedua santri tersebut, PB, adalah mantan karyawan Al Zaytun yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak pada akhir Desember 2016.
Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, ayahnya saat ini sedang memperjuangkan haknya ke berbagai instasi pemerintah yang terkait, akibat mengalami perlakuan sewenang-wenang dari Al Zaytun.
"IF (kelas XII di MA) dan PR (kelas IX di MTs) kini masih disandera. Ayahnya belum mampu membayar tagihan sekolah putra-putrinya Rp43 juta, karena dipecat sepihak oleh Al Zaytun," kata Retno, melalui keterangannya pada 28 Mei 2017 silam.
Dijelaskan, IF disandera selama 33 hari, sedangkan PR disandera selama 13 hari. Keduanya tidak mendapatkan hak pulang dan menjadi sandera pihak Al Zaytun sampai orangtuanya bisa melunasi seluruh tagihan.
"Padahal orangtuanya tidak memiliki kesanggupan karena di-PHK Al Zaytun," paparnya.
Ia mengungkapkan, FSGI akan melaporkan penyaderaan ini ke Kementerian Agama dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) secepatnya.
“Surat pengaduan akan disiapkan. Jika memungkinkan Senin siang (besok) kami akan datangi KPAI dan juga Kemenag agar kedua instansi tersebut segera bertindak menyelamatkan anak-anak yang disandera," ujar PB.
Tak hanya PB, ada sekitar 116 guru dan karyawan korban PHK sepihak Al Zaytun yang memiliki putra putri yang bersekolah di sana. Sejak di-PHK sepihak, PB tidak lagi menerim gaji dan tidak juga diberi pesangon meski sudah mengabdi hampir 11 tahun.
Inilah yang menyebabkan PB tidak memiliki kemampuan ekonomi membayar biaya sekolah putra putrinya karena selama ini dipotong dari gajinya sebagai karyawan.
Retno melanjutkan, ia juga khawatir sebab, pada 8 Juni mendatang saat pembagiaan rapor, santri dari para guru lainnya yang mengalami PHK juga akan mengalami penyanderaan.