Kasus Kelaparan di Indonesia Masih Miris
- Istimewa
Tak hanya itu, tingkat konsumsi buah dan sayuran alami di masyarakat pun kini menurun drastis. Masyarakat justru memilih produk olahan yang praktis dibanding yang alami. "Ini problem. Sebanyak 50 persen kelaparan terselubung itu adalah bukan karena faktor pendapatan, tetapi tradisi publik mengalami perubahan. Itu karena kemalasan manusia juga," ujar Dedi.
Sehingga pergeseran tradisi itulah yang menjadi penyebab terjadinya penurunan daya tahan tubuh pada anak-anak karena asupan tidak berkualitas. Dia mencontohkan setiap bertemu warga miskin mereka setidaknya mengantongi uang Rp50 ribu. Namun bukannya dibelikan pangan alami, mereka justru memilih mi instans sebagai panganan sehari-hari.
Untuk memperbaiki pola tersebut harus dilakukan semacam revolusi Pendidikan. Salah satunya pihak sekolah menyarankan agar orang tua memasak bekal bergizi untuk anaknya di sekolah.
Seperti halnya yang pernah ia lakukan saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Saat itu ia mewajibkan pelajar untuk membawa bekal bergizi dari rumah. Selain untuk disantap sendiri, bekal juga bisa dibagikan kepada pelajar yang kurang mampu.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan memberi pemahaman kepada masyarakat terkait makanan dengan protein tinggi. Sebab saat ini, Dedi menilai hanya sedikit masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang makanan bergizi. Padahal makanan bergizi itu tidak harus dibeli dengan mahal. Bahkan di sekitar rumah pun sebenarnya tersedia seperti pisang dan jambu. Kemudian di permukiman masih banyak ditemui belut yang memiliki kadar gizi yang baik.
“Jadi sebenarnya hamparan kadar protein di Indonesia itu tinggi, tidak harus berbasis uang. Di sekitar rumah juga banyak. Belut misalnya," ujar Dedi.
Di sisi lain Kang Dedi juga meminta pemerintah melaksanakan program PKH untuk warga miskin. Meski di lapangan banyak penyimpangan namun program itu tetap harus berjalan dengan dibarengi pemahaman masyarakat soal makanan sehat dan bergizi. (rls)