Tindak Wanita Tak Berhijab, Iran Bakal Gunakan Teknologi Canggih
- Morteza Nikoubazl/NurPhoto/Rex/Shutterstock
Bandung – Kematian Mahsa Amini membawa protes besar-besaran di ibu kota Iran. Negara tersebut memang menekankan beberapa aturan mengenai hijab yang benar, yang harus digunakan oleh wanita.
Pada awal September 2022, pemerintah Iran berencana menggunakan teknologi pengenalan wajah di transportasi umum untuk mengidentifikasi wanita yang tidak mematuhi undang-undang baru yang ketat tentang mengenakan jilbab. Kepolisian Iran juga terus melakukan tindakan kekerasan terkait pakaian wanita.
Sekretaris Markas Besar Iran untuk Mempromosikan Kebajikan, Mohammad Saleh Hashemi Golpayegani, mengumumkan dalam sebuah wawancara bahwa pemerintah berencana untuk menggunakan teknologi pengawasan, terhadap perempuan di tempat-tempat umum menyusul dekrit baru yang ditandatangani oleh presiden garis keras negara itu, Ebrahim Raisi, tentang pembatasan pakaian wanita.
Keputusan tersebut ditandatangani pada 15 Agustus 2022, sebulan setelah "Hari Hijab dan Kesucian" nasional, pada 12 Juli, yang memicu protes di seluruh negeri oleh para wanita yang memposting video diri mereka di media sosial dengan kepala terbuka di jalan-jalan dan di bus serta kereta api.
Dalam beberapa pekan terakhir, pihak berwenang Iran telah menanggapi dengan serentetan penangkapan, penahanan dan pengakuan paksa di televisi.
"Pemerintah Iran telah lama bermain-main dengan ide menggunakan pengenalan wajah untuk mengidentifikasi orang-orang yang melanggar hukum," kata Azadeh Akbari, seorang peneliti di University of Twente, di Belanda, dikutip dari The Guardian, Rabu, 21 September 2022.
"Rezim menggabungkan bentuk-bentuk kontrol totaliter 'kuno' yang kejam, yang didandani dengan teknologi baru."
Jilbab, penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim, menjadi wajib setelah revolusi Iran pada tahun 1979. Namun, selama beberapa dekade sejak itu, wanita telah melampaui batas aturan berpakaian yang ditetapkan.
Beberapa wanita yang ditangkap karena menentang keputusan baru itu, dan dilecehkan di transportasi umum karena tidak mengenakan jilbab dengan benar. Sepideh Rashno, ditangkap setelah sebuah video beredar di media sosial tentang dia dicaci maki karena pakaian yang tidak pantas oleh sesama penumpang, yang kemudian dipaksa turun dari kendaraan oleh orang-orang.
Menurut kelompok hak asasi manusia Hrana, Rashno dipukuli setelah penangkapannya, dan kemudian dipaksa untuk meminta maaf di televisi. Rashno bukanlah orang pertama yang mengalami represi kekerasan akibat viral di internet.
Pada tahun 2014, enam orang Iran, tiga pria dan tiga wanita, dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan 91 cambukan, setelah video mereka menari di Teheran dengan lagu Happy milik Pharrell Williams telah ditonton lebih dari 150.000 kali.
Kartu Identitas Biometrik
Sejak 2015, pemerintah Iran telah menerapkan secara bertahap kartu identitas biometrik, yang mencakup chip yang menyimpan data seperti pemindaian iris mata, sidik jari, dan gambar wajah.
Para peneliti khawatir informasi ini sekarang akan digunakan dengan teknologi pengenalan wajah untuk mengidentifikasi orang-orang yang melanggar aturan berpakaian yang diamanatkan, baik di jalanan maupun di dunia maya.
"Sebagian besar populasi Iran sekarang berada di bank data biometrik nasional ini, karena banyak layanan publik menjadi bergantung pada ID biometrik," kata Akbari.
"Jadi pemerintah punya akses ke semua wajah, mereka tahu dari mana orang-orang berasal dan mereka dapat dengan mudah menemukannya. Seseorang dalam video viral dapat diidentifikasi dalam hitungan detik."