Intip Keindahan Desa Adat Wae Rebo, Cocok Dikunjungi Libur Lebaran

Desa adat Wae Rebo di Manggarai NTT
Sumber :
  • istimewa

BANDUNG – Libur panjang cuti Idul Fitri memang jadi waktu yang pas untuk traveling, libur Lebaran kali ini, tidak ada salahnya mengunjungi Desa Wae Rebo.

Cara Klaim Link Saldo DANA Gratis Spesial Lebaran 2024, Buruan Mumpung Masih Jutaan

Wae Rebo adalah sebuah desa adat terpencil dan misterius di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di kampung ini hanya terdapat tujuh rumah utama atau yang disebut sebagai Mbaru Niang.

Korlantas Polri Catat 1.581 Kasus Kecelakaan Terjadi di Momen Mudik Lebaran Tahun Ini

Menurut legenda masyarakatnya, nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera.

Layaknya sebuah surga yang  berada di atas awan. Perlu perjuangan untuk bisa mencapainya, namun apa yang didapat ketika sampai ke lokasi sebanding dengan perjalanan yang dilalui.

Cuma Like IG, Saldo DANA THR Rp600 Ribu Langsung Masuk Rekening

Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Untuk bisa sampai ke lokasi memang tidak mudah karena letaknya yang di atas gunung.

Perlu tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan kaki selama kurang lebih 3 sampai dengan 4 jam.

Tergantung kondisi fisik karena trekking menuju desa Wae Rebo mendaki sejauh 7 kilometer.

Desa Wae Rebo saya sebut sebagai desa terindah di Indonesia, dan desa ini sama sekali tidak ada signal hp.

Desa Wae Rebo dari sisi pariwisata sangat dikelola dengan baik, karena desa ini didampingi dan diberikan bimbingan tentang Pariwisata oleh Indonesia Ecotourism Network.

Tujuannya memajukan desa-desa yang tadinya kurang diperhatikan menjadi sebuah desa wisata yang banyak orang ingin kunjungi. Pengunjung yang ingin ke Desa Wae Rebo di Flores harus mulai dari Ruteng.

Jika dari Denpasar (Bali), bisa langsung menuju Ruteng lewat jalur udara.

Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, anda dapat menggunakan bus atau travel dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang memakan waktu sekitar 6 jam. 

Setelah tiba di Ruteng, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Denge atau Dintor, perjalanan menuju ke Denge dapat menggunakan ojek atau truk kayu, biasanya dapat ditemukan di Terminal Mena yang beroperasi dari jam 09.00 sampai 10.00.

Jika ingin lebih hemat, gunakan truk kayu. Hanya saja angkutan ini tidak setiap hari beroperasi.

Selanjutnya perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki menuju Desa Wae Rebo selama 4-5 jam.

Jika harus menggunakan ojek dari Ruteng untuk bisa sampai ke Desa Denge, maka biaya yang dikeluarkan lebih mahal, bisa mencapai Rp 150.000-200.000 sekali antar.

Lebih hemat jika menggunakan truk kayu yang hanya dikenakan tarif Rp 30.000 per orang. Untuk fasilitas, di Desa Denge ada sebuah home stay yang bisa digunakan untuk menginap. 

Tidak jauh dari home stay ada pusat informasi dan perpustakaan. Saat tiba di Desa Wae Rebo, anda bisa menumpang di rumah adat milik masyarakat setempat jika ingin menginap.

Di sini tidak ada home stay atau penginapan khusus karena hanya terdiri dari 7 rumah adat.

Selain pemandangannya yang indah, kita akan disambut dengan keramahan penduduknya saat tiba di Desa Wae Rebo.

Di sini dapat kita jumpai rumah adat yang hanya terdiri dari 7 buah di mana telah bertahan selama 19 generasi.

Hal ini pula yang menjadi daya tarik para wisatawan khususnya dari mancanegara.

Mereka umumnya penasaran ingin melihat langsung rumah adat yang disebut dengan Mbaru Niang ini.

Terbuat dari kayu dengan atap dari ilalang yang dianyam. Bentuk Mbaru Niang mengerucut ke atas, sebuah arsitektural tradisional yang sangat unik. 

Tujuh Mbaru Niang ini berkumpul di lahan luas yang hijau dengan dihiasi bukit-bukit indah di sekitarnya, hawanya masih sangat sejuk karena dikelilingi hutan.

Desa Wae Rebo merupakan sebuah tempat yang bersejarah sehingga menjadi situs warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2012 yang lalu.

Selain rumah adat yang menjadi daya tarik, kehidupan masyarakatnya juga sangat menarik untuk diketahui.

Sebagian masyarakat bertani dan wanitanya membuat tenun. Ada pula kebun kopi, biasanya pengunjung akan dihidangkan kopi khas Flores yang nikmat.

Perpaduan kearifan budaya lokal dengan 7 rumah adat yang terletak di puncak bukit nan hijau membuat tempat ini layaknya surga di atas awan.

Namun sangat disayangkan, kenyataannya tempat seindah ini masih asing bagi masyarakat Indonesia padahal sangat terkenal di mancanegara. (irv)