dr. Djaja: Keluarga Tidak Punya Hak Tolak Autopsi
- Viva.co.id
Bandung - Dokter ahli forensik spesifikasi patologi dan toksikologi, dr. Djaja Surya Atmadja, memberikan penjelasan terkait bagaimana seharusnya prosedur yang harus dilewati jika terjadi kasus seseorang yang meninggal dunia secara tidak wajar.
Djaja sendiri merupakan salah satu saksi ahli dari sekian banyaknya saksi ahli yang dihadirkan dalam kasus 'kopi sianida' yang berhasil menewaskan Wayan Mirna Salihin dengan tersangka pembunuhan Jessica Kumala Wongso di tahun 2016 lalu.
“Kalau ada kasus orang meninggal tidak wajar, itu wajib diautopsi, sesuai KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Pasal 133 menyatakan penyidik yang menangani korban keracunan atau mati yang diduga karena tindak pidana dia harus meminta bantuan ahli (dalam hal ini dokter forensik),” ujar Djaja dalam Catatan Demokrasi tvOne dikutip VIVA Kamis, 12 Oktober 2023.
“Ada instruksi Kapolri juga Nomor 20 tahun 1975 bahwa pada setiap kematian tidak wajar itu harus diauopsi,” sambungnya.
Sebelum membahas lebih jauh, Djaja menerangkan bahwa syarat melakukan autopsi adalah dokter forensik harus membedah atau membuka tiga bagian tubuh, mulai dari kepala, dada hingga perut kemudian memeriksa seluruh organ dalam.
Apabila, tiga bagian tersebut hanya salah satunya saja yang dibuka, misalkan bagian kepala. Maka, kata Djaja hal tersebut tidak dapat dikatakan bagian dari autopsi.
“Sebab kalau tidak dibuka tiga bagian tubuh tadi (kepala, dada dan perut) dokter tidak akan tahu penyebab matinya. Jadi artinya kalau orang mati tidak wajar, tidak akan diketahui sebab matinya. Kalau tidak diketahui sebab mati, maka tidak mungkin ada tersangka,” jelas Djaja.
Lebih lanjut, Djaja menjelaskan, jika proses autopsi mendapat penolakan dari pihak keluarga maka keputusan dikembalikan kepada penyidik kepolisian yang menangani kasus tersebut.
“Orang bilang kalau keluarga memiliki hak untuk menolak autopsi, maka saya katakan tidak. Lihat pasal 134 (KUHAP),” ungkap Djaja.
Dalam pasal 134 KUHP poin pertama diterangkan, apabila penyidik harus melakukan autopsi untuk mencari bukti, maka penyidik wajib memberitahu pihak keluarga. Bukan meminta izin. Lalu poin kedua, apabila keluarga keberatan untuk dilakukan autopsi, penyidik harus menerangkan dengan jelas dan detail terkait maksud dan tujuan dilakukannya autopsi.
Terakhir, pada point ketiga, apabila dalam waktu 2x24 jam atau 2 hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu, maka penyidik diberi wewenang untuk memerintahkan dokter forensik melakukan autopsi.
“Jadi tidak perlu izin (pihak keluarga). Kenapa tidak perlu izin keluarga? Karena kalau pernah nonton film detektif, kalau ada pembunuhan, orang yang dicari pasti orang dekat. Keluarga, teman, kerabat. Nah, mereka calon pelaku yang perlu dicurigai pertama kali,” jelas Djaja
“Makanya keluarga tidak diberikan hak untuk menolak autopsi, itu konsepnya. Bahkan orang yang menghalangi autopsi ada hukumannya pasal 222 KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana),” pungkasnya