Gelar Demo, FPA Minta Mendagri Copot Pj Gubernur Aceh
- Istimewa
VIVA Bandung – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Pemersatu Aceh (FPA) mengelar aksi unjuk rasa di depan gedung Kementrian Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Mereka minta agar Pejabat (Pj) Gubernur Aceh Bustami Hamzah dicopot dari jabatannya, karena diduga menjalankan politik balas dendam dalam mengelola daerah Aceh. Hal itu kemudian dinilai dapat memicu disintegrasi Aceh dan NKRI serta membuat gaduh situasi keamanan dan politik di Aceh.
Koodinator Lapangan Iwan mengatakan, Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah diduga telah memasung Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2024. Saat ini, anggaran tersebut tidak dapat diakses oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) karena akun mereka dikunci oleh Badan Pengelola Keuangan Aceh (BKA). Hal ini sangat berdampak pada daya beli masyarakat Aceh yang terus melemah.
“Mungkin untuk kalangan atas, hal ini mungkin tidak berarti. Namun bagi keluarga kelas menengah dan bawah, situasi ini jelas menyulitkan, perilaku ugal-ugalan Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah ini dapat memicu disintegrasi pada masyarakat Aceh," kata Iwan dalam orasinya di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Iwan menjelaskan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran dan ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Batas waktu penetapan APBD tersebut seharusnya menjadi acuan bagi daerah dalam proses penyusunan APBD.
“Namun yang terjadi adalah masih banyaknya daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang menetapkan APBDnya melampaui dari batas waktu yang telah ditetapkan seperti tang terjadi di Provinsi Aceh”, ungkapnya.
Ia mengatakan, APBA 2024 yang terlambat disahkan seharusnya dapat dipacu penggunaannya agar memberikan efek kepada perekonomian Aceh secara keseluruhan. Alih-alih mengakselerasi, justru banyak program Pemerintah Aceh yang tidak dapat dilaksanakan hingga saat ini.
“Patut diduga hal ini dilakukan oleh penjabat gubernur hingga mutasi Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh dilakukan. Artinya, penjabat gubernur sengaja menahan-nahan anggaran agar seluruh anggaran itu dapat dikontrol lewat pejabat baru yang dia restui,” ucap Iwan.
“Jika hal tersebut terjadi, maka penjabat gubernur Aceh berpotensi melanggar aturan. Pengguna anggaran dan kuasa pengguna anggaran diberikan kewenangan untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain sesuai dengan dokumen anggaran yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri," sambungnya.
Menurut Iwan, keterlambatan pengesahan APBA 2024 ini dapat mengakibatkan keterlambatan penyampaian data APBA. Sanksi
atas keterlambatan tersebut berupa
penundaan penyaluran dana perimbangan, dan
atas keterlambatan tersebut dapat
menghilangkan kesempatan bagi daerah untuk
memperoleh dana insentif daerah sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 56 Tahun 2005.
Menunda pelaksanaan anggaran hingga pejabat yang diingini penjabat gubernur dilantik jelas bukan tindakan bijaksana. Apalagi mutasi pejabat membutuhkan waktu lama. Tidak hanya di tingkat instansi kepegawaian, ini juga membutuhkan persetujuan Menteri Dalam Negeri.
“Selama ini waktu terbuang untuk menunggu kepala dinas atau kepala badan sesuai selera penjabat gubernur, semakin banyak rakyat kelas menengah dan kelas bahwa yang terzalimi karena tidak ada perputaran uang di Aceh. Di banyak tempat, keluhan ini semakin nyaring terdengar," ungkapnya.
Iwan menyampaikan APBA sebagai anggaran sektor publik selayaknya menjadi prioritas perhatian bagi pemerintahan di daerah. Keterlambatan dalam hal penetapan APBD apabila terus terjadi dan Pemerintah Daerah serta DPRD tidak berupaya untuk mengatasinya akan mempengaruhi keterlambatan pelaksanaan program dan kegiatan yang tercantum dalam APBD.
“Pelaksanaan program menjadi tergesa-gesa dan terkesan seadanya karena waktu pelaksanaan menjadi lebih sempit. Hal tersebut dapat dipastikan mempengaruhi efektifitas dan efisiensi program itu sendiri. Kerugian dengan sendirinya akan ditanggung oleh rakyat, bukan oleh elit politik di pemerintahan daerah, karena jalannya pembangunan daerah adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”, ujarnya.