Aktivis Nusantara: Pengetatan BBM Subsidi Solusi Tepat, Namun Perlu Perbaikan Skema Subsidi Tertutup

Ketua Jaringan Aktivis Nusantara, Romadhon Jasn
Sumber :
  • Dokumentasi Pribadi

Bandung, VIVA – Ketua Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menyampaikan pandangannya terkait keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memastikan pengetatan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi tetap dilanjutkan. Menurut Romadhon, kebijakan ini adalah langkah penting namun harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan masyarakat luas.

Romadhon menyoroti bahwa subsidi BBM selama ini kerap tidak tepat sasaran, dengan mayoritas penerima manfaat berasal dari golongan menengah ke atas. Data yang dirilis oleh pemerintah menunjukkan bahwa BBM subsidi lebih banyak dinikmati oleh pemilik kendaraan pribadi dengan kapasitas mesin besar, padahal seharusnya subsidi tersebut diperuntukkan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

“Kebijakan pengetatan BBM subsidi adalah langkah yang tepat, namun harus didukung dengan data yang akurat dan mekanisme pengawasan yang ketat agar penerapannya benar-benar tepat sasaran,” ujar Romadhon, saat dimintai keterangan oleh media, Kamis (19/9/2024)

Ia menambahkan bahwa kebijakan ini harus mampu menekan konsumsi BBM di kalangan masyarakat yang mampu dan mengalihkan subsidi ke kelompok yang lebih membutuhkan.

Dalam pandangannya, Romadhon mendukung wacana pemerintah untuk beralih ke skema subsidi tertutup di masa mendatang, di mana subsidi diberikan langsung kepada individu, bukan ke barang. Menurutnya, skema ini akan lebih efektif dalam memastikan bahwa subsidi tepat diterima oleh mereka yang membutuhkan. 

“Subsidi langsung kepada masyarakat akan mengurangi risiko penyalahgunaan dan memastikan bahwa dana publik digunakan dengan efisien,” lanjutnya.

Namun, Romadhon juga menekankan bahwa dalam menuju skema subsidi tertutup, pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang memadai, seperti sistem verifikasi dan distribusi yang andal. “Jangan sampai kebijakan ini justru menambah beban bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena proses administrasi yang rumit atau akses yang terbatas,” tambahnya.

Dalam kebijakan terbaru, pemerintah menetapkan kriteria berdasarkan kapasitas mesin kendaraan sebagai langkah awal pengetatan BBM subsidi. Kendaraan dengan kapasitas mesin lebih dari 2.000 CC untuk solar dan lebih dari 1.400 CC untuk Pertalite tidak akan mendapatkan subsidi. 

Romadhon setuju bahwa kriteria ini dapat menjadi solusi jangka pendek, namun ia mengingatkan bahwa pendekatan ini tetap memiliki tantangan.

“Penetapan batas kapasitas mesin memang membantu, tetapi tetap ada risiko bahwa kendaraan yang memenuhi kriteria masih dimiliki oleh masyarakat yang mampu. Pemerintah perlu memikirkan mekanisme yang lebih spesifik, seperti verifikasi pendapatan pemilik kendaraan,” jelas Romadhon.

Romadhon juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kebijakan pengetatan subsidi dengan upaya transisi energi berkelanjutan. Menurutnya, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada BBM dan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. Ia menekankan bahwa kebijakan subsidi harus diarahkan untuk mendukung akses masyarakat terhadap energi bersih.

“Dalam jangka panjang, kebijakan subsidi harus selaras dengan upaya Indonesia mencapai target transisi energi. Pemerintah harus mulai mendorong penggunaan energi terbarukan, terutama bagi masyarakat kecil, agar mereka tidak hanya mendapatkan akses energi yang murah, tetapi juga ramah lingkungan,” tegas Romadhon.

Romadhon Jasn berharap pemerintah dapat menjalankan kebijakan ini dengan tetap memperhatikan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan energi. “Pengetatan subsidi BBM memang diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan memperhatikan dampaknya bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama yang paling rentan,” pungkasnya.