Penggunaan Diksi 'Rakyat Jelata' Tuai Kontroversi. Juru Bicara Kepresidenan Minta Maaf
- Tangkap Layar Instagram @pco.ri
VIVABandung – Kementerian Komunikasi Kepresidenan menghadapi gelombang kritik publik setelah Juru Bicara Adita Irawati menggunakan istilah "rakyat jelata" dalam pernyataan resminya.
Insiden kebahasaan ini muncul ketika menanggapi kasus penghinaan terhadap pedagang es oleh seorang publik figur.
Dalam respons cepat terhadap kritikan massive di media sosial, Adita Irawati segera mengambil langkah profesional dengan merilis permintaan maaf secara resmi melalui kanal komunikasi institusional.
Adita menegaskan bahwa penggunaan terminologi tersebut tidak memiliki maksud merendahkan atau mendiskreditkan kelompok masyarakat tertentu.
Menurutnya, istilah "rakyat jelata" memiliki makna definitif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang merujuk pada kelompok masyarakat biasa.
Secara lingustik, kata "jelata" bermakna golongan masyarakat non-elite, tidak termasuk dalam kategori bangsawan atau kelompok berkekuatan ekonomi tinggi. Namun, dalam konteks kontemporer, istilah tersebut kerap ditafsirkan secara negatif.
Masyarakat modern cenderung membaca istilah "rakyat jelata" dengan konotasi yang berbeda dari makna aslinya.
Hal ini mencerminkan sensitivitas sosial yang tinggi terhadap penggunaan bahasa yang dapat dipersepsikan diskriminatif.
Institusi kepresidenan dinilai perlu memperhatikan secara ekstra penggunaan bahasa dalam komunikasi publik.
Setiap pernyataan memiliki potensi interprestasi yang kompleks di era digital yang informasinya menyebar dengan sangat cepat.
Adita Irawati menyatakan komitmen untuk lebih berhati-hati dalam berkomunikasi, khususnya ketika menyampaikan kebijakan strategis dan program prioritas pemerintahan.
Permintaan maaf resmi tersebut menandakan kesadaran institusional akan pentingnya pemilihan kata yang tepat dan sensitif terhadap berbagai lapisan masyarakat.
Insiden ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang penggunaan bahasa dalam komunikasi resmi. Hal tersebut mengingatkan para pejabat publik akan tanggung jawab mereka dalam menjaga komunikasi yang inklusif dan bermartabat.
Kementerian Komunikasi Kepresidenan tampaknya akan menggunakan momentum ini sebagai momentum introspeksi dan perbaikan komunikasi publik.****