Tuai Kontroversi Usai Diucapkan Jubir Presiden, Ini Makna Kata 'Rakyat jelata' Menurut KBBI dan Persepsi Publik

Juri Bicara Presiden, Adita Irawati
Sumber :
  • Tangkap Layar Instagram @pco.ri

VIVABandung – Arti kata "Rakyat jelata" belakangan menjadi sorotan publik setelah digunakan oleh Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan dalam menanggapi kasus yang melibatkan pemuka agama Gus Miftah.

Dalam definisi klasik KBBI, "rakyat jelata" merujuk pada masyarakat biasa, golongan non-elite yang tidak termasuk dalam lingkaran bangsawan atau kalangan berpunya.

Secara etimologis, kata "jelata" bermakna sederhana, tidak istimewa, namun tidak bermaksud merendahkan.

Namun, perjalanan makna kata ini telah mengalami transformasi signifikan. Dari sekadar penanda status sosial, "rakyat jelata" kini kerap dipersepsikan dengan konotasi negatif karena dianggap meruju pada sebuah istilah yang terdengar menghina dan menunjukkan jarak sosial.

 

Gus Miftah

Photo :
  • id.pinterest.com

 

Kasus yang memicu kontroversi bermula dari insiden yang melibatkan Gus Miftah, seorang pemuka agama terkenal yang mengolok-olok Sunhaji, seorang pedagang es teh keliling.

Peristiwa tersebut mendapat perhatian luas setelah video interaksi mereka tersebar di media sosial.

Menanggapi kasus tersebut, Juru Bicara Kepresidenan Adita Irawati menggunakan frasa "rakyat jelata" dalam pernyataannya ketika menanggapi peristiwa tersebut yang kemudian memicu reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat.

Penelusuran historis menunjukkan bahwa istilah "rakyat jelata" telah mengalami pergeseran makna yang kompleks.

Pada masa awal kemerdekaan, terminologi ini sering digunakan para tokoh pergerakan untuk menggambarkan solidaritas dengan masyarakat bawah. Namun, seiring waktu, kata tersebut mulai kehilangan dimensi positifnya.

Di era kontemporer, "rakyat jelata" kerap dipersepsikan sebagai:

- Penanda ketidakberdayaan ekonomi

- Simbol marginalisasi sosial

- Kategorisasi yang membatasi ruang gerak masyarakat

Merespons kritikan publik, Adita Irawati segera menyampaikan permintaan maaf. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa penggunaan kata tersebut tidak dimaksudkan untuk merendahkan, melainkan sekadar merujuk pada definisi KBBI.

Peristiwa ini membuka diskusi mendalam tentang sensitivitas bahasa dalam ruang publik. Bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan cermin relasi kuasa dalam masyarakat. Setiap pilihan kata memiliki potensi untuk membangun atau meruntuhkan martabat.

Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran berbahasa, terutama bagi mereka yang memiliki platform publik.****