Cerita Veteran ketika Ikut Operasi Seroja, Gambarkan Kondisi yang Mengerikan
Viva Bandung – Veteran RI Kolonel (Purn) Suyudiman Saleh menceritakan ketika dia terlibat dalam Operasi Seroja di Timor Timur yang berlangsung sejak 6-10 Desember 1975 lalu. Menurutnya, dalam operasi itu tercipta situasi yang mengerikan.
Operasi tersebut diikuti oleh Saleh ketitka anak keduanya baru lahir, sehingga dirinya sangat berat untuk meninggalkan keluarga. Namun karena tugas negara, Saleh pun sulit untuk menolaknya.
“Pertama saya ditugaskan untuk pergi ke Bandung, di sana saya mengangkut pasukan Kopasgat dan Kopassus totalnya 90 orang,” ujar pria lulusan akademi angkatan udara tahun 1968 ini, dikutip dari YouTube TNI AD.
Saleh juga mengatakan ketika itu tidak ada satu pun prajurit, termasuk dirinya yang tahu akan ditugaskan kemana. Setelah dari Bandung, mereka diperintah pergi ke Madiun. Di Madiun, perlengkapan senjata dan logistik dimasukkan ke dalam pesawat.
Menjelang tengah malam, komandan meminta Saleh dan 7 armada Angkatan Udara untuk menerbangkan pesawat ke Timur. Namun semuanya belum diberi tahu ke mana akan bertugas.
“Ini masih belum tahu mau ke mana, di tengah perjalanan kita baru diinfokan oleh komandan nanti jam sekian pasukan diterjunkan. Setelah itu saya sibuk membaca peta,” kata Saleh
Ketika sedang mengudara, Saleh mendengar suara Meriam dari bawah. Dia mendapat informasi dari pesawat lain bahwa mereka sedang ditembaki.
“Terus di tengah jalan, kami kaget ada tembakan Meriam, saat itu kan ada 8 pesawat berangkat, mereka bilang, ‘ini kita sudah ditembaki dari bawah’,” cerita Saleh.
Ketika itu, dia menerima perintah untuk menerjunkan pasukan. Dia pun membuka pesawat dan mempersilakan prajurit untuk melompat. Dia mengabarkan kondisi sangat mengerikan ketika ratusan prajurit ditembaki dari bawah hingga banyak yang gugur.
“Begitu terjun, wah teman-teman ditembakin dari bawah, itu banyak yang gugur. Kalau Anda lihat di Museum Mabes Abri Cilangkap Anda lihat ada tembok besar itu isinya nama-nama teman yang gugur di Operasi Seroja,” ungkap Saleh.
Saleh mengungkap ketika mereka ditembaki, kondisi kokpit atau tempatnya di bawah tempat duduknya telah berserakan banyak peluru, beruntung tidak mengenainya.
“Itu tanggal 6 September 1975, di otak saya itu yang keingat anak saya yang sedang tidur di rumah, itu yang paling berat, saat mau berangkat aja itu rasanya berat sekali, di situ diperlukan keikhlasan dan ketulusan yang tinggi,
“Waktu mau berangkat ke sana saya lihatin anak saya, ‘aduh gimana kalau saya mati nanti’ berat sekali, udah keluar dari kamar, saya kembali lagi,” pungkasnya