DPR Tantang Menteri Siti Nurbaya Ekspose Perusahaan Perusak Alam
- Istimewa
BANDUNG – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi Golkar, Dedi Mulyadi menantang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengekspose seluruh perusahaan swasta dan negara yang terbukti merusak alam di Indonesia. Hal itu diperlukan agar bisa menjadi acuan pemerintah menjadikan perusahaan mana yang patut dipertahankan.
Dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dedi menekankan agar perencanaan anggaran tidak fokus pada belanja saja. Ia berharap KLHK bisa memfokuskan satu anggaran untuk menyelesaikan satu permasalahan minimal satu dalam setahun.
“KLHK harus membuat konstruksi yang jelas seperti kerusakan hutan di mana, berapa titik kritis, kerusakan lingkungan paling parah di mana, sungai tercemar yang mana, kemudian dibuat fokus untuk penanganan. Jadi setiap tahun ada problem solving yang dibuat KLHK,” ujar Dedi, Jumat 10 Juni 2022.
Selain anggaran, Dedi juga menekankan KLHK transparan secara komprehensif mana yang lebih untung antara perusahaan yang mengelola atau mengurus hutan dengan yang merusak hutan. Dedi menantang KLHK mengumumkan perusahaan swasta dan pemerintah yang melakukan perusakan alam atau merawat alam.
“Misal BUMN mana saja yang rugi, kerusakan alam apa yang disebabkan oleh BUMN rugi itu, bisa jadi BUMN nya rugi alamnya rusak. Kemudian mana perusahaan swasta atau negara yang mengelola alam tapi dapat untung. Dari situ KLHK memberikan rekomendasi pada presiden terkait kebijakan negara di bidang lingkungan hidup,” katanya.
"Sehingga negara tinggal memilih mau yang merusak atau merawat alam,” tegas Dedi.
Jangan sampai, menurutnya, kerusakan alam yang terus terjadi akan ‘meledak’ dan menjadikan tahun 2022 sebagai tahun bencana Nasional. Dedi mencontohkan beberapa waktu lalu berkunjung ke Garut saat terjadi bencana banjir bandang. Setelah dilakukan analisa ternyata hal tersebut diakibatkan oleh lahan hutan yang menjadi kawasan perkebunan hortikultura. Di lokasi tersebut lahan hortikultura dibuat tertutup oleh terpal plastik. Hal tersebut diperparah dengan rumput yang disemprot sehingga mati hingga akar.
“Di sana dari 80 ribu hektare hanya 30 ribu yang ada pohonnya, 50 ribu jadi lahan hortikultura. Ini problem. Saya tidak mau tahun ini jadi tahun bencana karena terjadi alih fungsi hutan. Hutan harus tetap hutan tidak boleh jadi lahan pertanian. Kita lihat variabelnya siapa pemilik tanah paling luas adalah pemilik modal di Jakarta yang punya akses terhadap kekuasaan dan menguasainya sangat luas. Rakyat tidak bisa tanam hortikultura karena modalnya harus kuat, rata-rata mereka (rakyat) jadi kuli,” terangnya. (ads)