DPR Kutuk Keras Guru Ngaji di Pangalengan Cabuli 11 Anak

Kedua Komisi X DPR RI Syaiful Huda
Sumber :
  • Viva/irvan

BANDUNG  –  Tanggapi kasus sodomi atau kontak seksual terhadap oknum guru ngaji di Bandung, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengungkap, Undang-Undang Tindak Pidana Seksual (TPKS) bisa diterapkan kepada pelaku.

Stop Jual Beli Daging dan Konsumsi Anjing-Kucing, Bahaya Guys!

Ia menilai maraknya seksual terhadap anak, saat ini terjadi karena berbagai faktor termasuk dari segi penegakan hukum.

Bahkan ia berpendapat jika kasus tersebut benar terjadi sama dengan menyalanya bel kematian toleransi, humanisme, dan keberagamaan sesama masyarakat.

Jokowi Minta Masyarakat Hormati Putusan Baleg DPR RI soal Persyaratan Pilkada 2024

"Kalau ini benar-benar terjadi, ini sama dengan lonceng kematian toleransi, humanisme, dan keberagamaan," ujar Syaiful Huda saat ditemui usai kegiatan di Akshaya Hotel, Karawang, Selasa, 19 April 2022.

Oleh karenya, Ketua Komisi X DPR RI itu juga berharap penegak hukum bisa bertindak maksimal terkait proses hukum terhadap pelaku pelecahan seksual tersebut.

Muhammadiyah Berharap Pansus Haji Tidak Dijadikan Alat Politik oleh Anggota DPR

"Saya tentu mengutuk, dan mengecam keras, lebih-lebih korbannya anak-anak yang harus menjadi konsen kita, karena mereka masa depan Indonesia," kata dia.

Ia juga menginbau agar para orang tua korban tidak takut, dan mau melaporkan semuanya, sebab guna mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Perlu peran proaktif dari para orang tua korban, maupun terlupakan sebagai korban.

"Dengan Undang-Undang yang baru (TPKS), mereka (korban) punya perlindungan yang luar biasa. Pemerintah punya prakarsa yang baik untuk melindungi korban tindak pidana kekerasan seksual," pungkasnya.

Sebelumya diketahui, Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Bandung akhirnya berhasil mengungkap kasus dugaan pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur yang dilakukan oknum guru di Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Dalam kasus tersebut polisi telah menetapkan SN (39) sebagai tersangka seksual terhadap anak yang rata-rata masih berusia 10-11 tahun itu.

Kapolresta Bandung, Kombes Pol Kusworo Wibowo mengatakan, penangkapan terhadap SN dilakukan menindaklanjuti laporan dari salah seorang korban yang mengalami pencabulan pada 1 Maret 2022 lalu.

"Dari hasil pengakuan, tersangka ini pada 1996 pernah menjadi korban pelecehan seksual sesama jenis. Dampaknya pada 2017, tersangka melakukan perbuatan yang sama kepada para muridnya," ungkap Kusworo, saat gelar perkara di Mapolresta Bandung, Jalan Bhayangkara, Soreang, Kabupaten Bandung, Senin, 18 April 2022.

Kusworo menyebut, sejak 2017 tidak ada korban yang berani melaporkan perilaku bejat yang dilakukan SN tersebut. Hingga akhirnya pada 1 Maret 2022 ada salah satu korban yang melaporkan.

"Dari situ kami lakukan pendalaman. Dari informasi tersangka, modusnya ketika ada muridnya selesai belajar dengannya namun sudah terlalu larut, diajak untuk menginap di rumah tersangka. Dan malam harinya dilakukan pelecehan seksual tersebut," ujarnya.

Selain itu, lanjut Kusworo, modus lain tersangka dalam menjalankan aksinya itu, yakni saat muridnya selesai belajar tersangka berpura-pura untuk mengantar pulang.

Namun, kata Kapolresta, sebelum pulang tersangka mengajak korban untuk mampir ke tempat pemandian air panas. Saat berendam dilakukan perbuatan pelecehan seksual.

"Tidak hanya itu, modus lainnya yaitu tersangka mengikuti korban yang akan ke kamar mandi, kemudian dilakukan pelecahan," katanya.

Kusworo mengatakan, sejauh mana pendekatan baru menangani 11 laporan dari para korban. Namun tidak menutup kemungkinan jumlahnya bisa bertambah mengingat yang dilakukan tersangka sudah dilakukan selama lima tahun terakhir.

"Jadi baru 11 orang korban yang memberikan keterangan. Tidak menutup kemungkinan nanti ada korban-korban lain yang melapor," ucapnya.

Tersangka sendiri merupakan guru yang mengajar di salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Pangalengan. Terangka telah beristri dan memiliki tiga orang anak.

Akibat perbuatannya, tersangka SN dijerat dengan Pasal Nomor 82 Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, maksimal 3 tahun, dan denda Rp300 juta. (irv)