DPR Bahas Kemiskian Kultural saat Grebek Warga Miskin di Purwakarta
- Istimewa
"Kayu bakar tidak dipakai, kemudian pakai gas beli Rp 25-35 ribu. Air pakai galon, beli lagi, duit lagi, beras harus beli lagi, ikan harus beli lagi, listrik beli lagi, sekolah harus jajan, sedangkan duit yang dicari gak setiap hari didapat kadang Rp 20 ribu kadang Rp 50 ribu atau kadang tidak ada. Karena semua tergantung sama uang, orang bisa mati," beber Dedi.
Ia pun mengkritik anak-anak Mimin yang setiap hari hanya menonton tv tanpa kegiatan. Hal tersebut menimbulkan hawa lapar pada anak, namun tak ada yang bisa dimakan.
Sementara orang kaya selalu hidup kenyang dan kerap menyisakan makanan karena tak mau makan. Sehingga banyak orang kaya yang sengaja mencari dokter agar anaknya mau makan.
"Nah kalau anak cari kayu bakar punya kegiatan tidak hanya nonton tv. Pulang bisa dapat jamur, bisa dapat nangka jatuh, pisang jatuh, mangga yang jatuh tergantung rezekinya dapat apa. Datang ke rumah masak pakai kayu gratis, selama berjalan ada yang nyuruh dapat uang untuk beli beras. Karena saya pernah ngalamin seperti itu sehingga hidupnya kreatif," katanya.
"Nasib yang seperti ibu ini banyak. Ini yang dimaksud kemiskinan kultural, kemiskinan karena perubahan budaya hidup," sambung Kang Dedi.
Jika saja keluarga tersebut tidak tergantung pada hal-hal tersebut seperti memanfaatkan kayu bakar, memasak air untuk minum, maka hidup akan lebih makmur karena tidak tergantung pada hal yang sifatnya harus dibeli.
"Ini salah satu fenomena kehidupan. Kita tidak mungkin tahu kehidupan mereka kalau tidak masuk ke dapur mereka. Saya berulang kali ngomong gas bisa melahirkan kemiskinan yang parah kalau tidak segera diubah. Ini banyak kayu terbuang karena perubahan pola hidup. Saya setuju pakai kayu bakar karena anak-anaknya bisa keluar cari kayu bakar, efisiensi, dan menjemput rizki yang tak diduga," pungkas Kang Dedi Mulyadi.