Respon Muhammadiyah Soal Izin Ormas Keagamaan Mengelola Perusahaan Tambang
- Viva.co.id
Bandung – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti memberikan respon soal pemberian izin usaha pertambangan (IUP) untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Menurutnya, belum ada pembicaraan dari pihak pemerintah dan Muhammadiyah terkait hal itu.
“Kalau ada penawaran resmi Pemerintah kepada Muhammadiyah akan dibahas dengan saksama,” kata Mu’ti dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Senin (3/6/2024).
Lanjut Mu'ti, Muhammadiyah tidak akan tergesa-gesa dan lebih memilih untuk mengukur kemampuan diri dalam mengelola pertambangan.
Hal itu dilakukan agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan bagi organisasi, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurutnya, kemungkinan ormas keagamaan memiliki izin untuk mengelola tambang merupakan wewenang pemerintah.
“Kemungkinan ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis karena harus memenuhi persyaratan,” tutur Mu’ti.
Dikabarkan sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pasal 83A ayat (1) PP Nomor 25 Tahun 2024 menyebutkan bahwa regulasi baru itu mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK).
WIUPK merupakan wilayah yang diberikan kepada pemegang izin.
Berdasarkan Pasal 83A ayat (2), WIUPK yang dapat dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang batu bara yang sudah pernah beroperasi atau sudah pernah berproduksi.
Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 83A ayat (5), badan usaha ormas keagamaan yang memegang wilayah tersebut dilarang bekerja sama dengan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) atau terhadap perusahaan maupun pihak-pihak yang terafiliasi oleh perusahaan sebelumnya.
Penawaran WIUPK kepada badan usaha ormas keagamaan berlaku terbatas, yakni hanya lima tahun sejak PP Nomor 25 Tahun 2024 berlaku.