Studi: Depresi Bisa Meningkat Gegara Terlalu Banyak Konsumsi Makanan Ini

Ilustrasi pria
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Bandung – Ternyata makanan yang menenangkan atau disebut "comfort food”, seperti cokelat, kue, pizza siap saji, bisa membuat kamu merasa jauh lebih buruk.

Resep Masak Ketupat Hemat Gas, Cuma Butuh Waktu 30 Menit

Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Journal of Affective Disorders, menemukan bahwa tingkat depresi 80 persen lebih tinggi pada orang yang pola makannya mencakup makanan ultra-olahan atau ultra-processed food dalam jumlah besar.

Penulis penelitian yang berasal dari Universidade Federal de Viçosa Brasil, mendefinisikan makanan ultra-olahan sebagai makanan yang menampilkan "lima atau lebih komponen untuk penggunaan eksklusif industri makanan, seperti anti-humektan, pengemulsi, dan simulator rasa."

Gawat! Persib Bandung Alami Hal Buruk saat Game Internal, Ini Reaksi Bojan Hodak

Sebagian besar jenis cokelat, keripik, es krim, kue, makanan siap saji, dan soda yang dijual di toko kelontong memenuhi kriteria tersebut.

"Hubungan antara makanan dan kesehatan mental kita itu rumit. Penelitian di Brasil menawarkan bagian penting lainnya dalam teka-teki ini," kata David Crepaz-Keay, dari Mental Health Foundation di Inggris, melansir Daily Mail.

Ikuti 5 Tips Ampuh Ini Agar Mudik Lebaran Nyaman Tanpa Mabuk Perjalanan

"Pikiran dan tubuh kita membutuhkan pola makan yang sehat dan seimbang, dan ini adalah sesuatu yang tidak kita dapatkan dari makanan ultra-olahan saja," tambahnya. 

"Camilan manis dan minuman berkafein dapat memberi kita dorongan sementarac tetapi ini berumur pendek, dapat mengganggu tidur dan berdampak pada kesehatan mental kita," lanjutnya. 

Untuk penelitian tersebut, para peneliti menanyai 2.572 melakukan wawancara saintik dengan para mahasiswa pascasarjana dan sarjana di Brasil tentang kebiasaan makan dan gaya hidup mereka setiap dua tahun antara 2016 dan 2020.

Peserta melaporkan sendiri seberapa sering mereka makan 144 jenis makanan yang berbeda, termasuk makanan ultra-olahan seperti pizza dan keripik beku, serta buah-buahan dan sayuran, dan seberapa besar porsinya.

Mereka juga diminta untuk melaporkan indeks massa tubuh mereka, konsumsi alkohol, apakah mereka merokok, berapa jam menonton TV, apakah mereka menderita diabetes dan apakah mereka sebelumnya telah didiagnosis dengan depresi klinis.

Selama penelitian, 246 kasus depresi ditemukan. Mereka yang mengalami depresi termasuk 66 pria (27% kasus) dan 180 wanita (73% kasus).

Hasilnya dipecah menjadi empat kelompok untuk membedakan makanan antara para sukarelawan.

Mereka yang mengonsumsi makanan ultra-olahan membuat setidaknya 31% dari diet mereka setiap hari, diet terburuk, hingga 82% lebih mungkin didiagnosis dengan depresi selama penelitian, dibandingkan dengan orang yang makan sedikit makanan ultra-olahan, kurang dari 16% dari konsumsi harian mereka.

Perlu dicatat bahwa penelitian tersebut mengandalkan data yang dilaporkan sendiri, sehingga beberapa kesimpulan mungkin diharuskan diteliti lebih lanjut.

Orang yang sudah mengalami depresi mungkin lebih cenderung beralih ke makanan olahan, yang berarti penelitian tersebut tidak secara meyakinkan menyimpulkan bahwa makanan tersebut berkontribusi terhadap depresi.

"Banyak makanan yang menurut studi ini berhubungan dengan depresi tidak dianggap sebagai komponen rutin dari diet sehat," kata Duane Mellor, dari Aston University di Birmingham, Inggris, kepada Daily Mail.

"Bisa jadi faktor yang terkait dengan depresi juga dapat menyebabkan seseorang tidak makan dengan pola diet yang ideal. Oleh karena itu, masih sulit untuk mengatakan bahwa makanan ultra-olahan terkait besar dengan depresi."

Sementara itu, studi terbaru lainnya menemukan bahwa orang bisa berisiko lebih tinggi mengalami penurunan kognitif jika lebih dari 20% asupan kalori harian mereka berasal dari makanan ultra-olahan.

Selain penurunan kognitif, makanan ultra-olahan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas, masalah jantung dan sirkulasi, diabetes, kanker, dan rentang hidup yang lebih pendek.