Ketika Aktivis Tembakau hingga Akademisi Bahas Perang Nikotin Global
- Istimewa
"Mereka, para asing, menyuruh kita untuk menanam tanaman dari Amerika, karena padinya mau diambil. Artinya mereka ingin melakukan penguasaan ekonomi melalui pasar. Pada intinya, mereka hendak melakukan monopoli pasar," ungkap Dede.
Dede juga melanjutkan penjelasannya bahwa Indonesia acap kali hampa dalam menemukan solusi atas berbagai permasalahan. Masyarakat Indonesia menjadi minder dan rendah diri bahkan, lebih berbahayanya lagi, menelan mentah-mentah kebenaran yang dibuat korporasi farmasi.
"Obat berhenti merokok merupakan bentuk dari disorder mental yang baru. Merokok atau tidak merokok bukan permasalahan utama. Sebab, yang lebih utama, kretek adalah produk Indonesia dengan bahan baku yang kita miliki hingga saat ini. Itu yang mestinya dijaga.
Senada dengan Abhisam dan Dede, Pengajar Departemen Sosiologi UGM, AB Widyanta menegaskan bahwa pentingnya Nicotine War untuk dikaji kembali. "Buku ini merupakan hasil riset ekonomi politik kritis dari Wanda Hamilton terhadap dominasi penuh muslihat yang gencar dilakukan oleh korporasi medis dan farmasi dalam pertarungan politik bisnis internasional," ujar AB.
AB juga menyoroti bahwa nikotin telah menjadi arena pertarungan kuasa yang akan senantiasa memberikan kontestasi berbagai strategi yang kompleks melalui perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.
"Tarik ulur kepentingan selalu terjadi pada setiap relasi kuasa yang berlangsung di antara pro dan kontra terhadap rezim kesehatan, korporasi farmasi global, negara, petani tembakau, petani cengkeh, dan perokok. Dengan kerangka analisis itu, kita bisa menerapkannya untuk membaca data yang terhampar dalam buku Nicotine War," pungkasnya.