Nenek di Pamekasan Jadi Tersangka Kasus Tanah, Sulaisi: Pelaku Utama Diduga dari Internal Keluarga
- Istimewa
VIVA Bandung – Seorang nenek (61) bernama Bahriyah asal Kelurahan Gladak Anyar, Kecamatan Pamekasan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Pamekasan terkait kasus dugaan pemalsuan serifikat tanah yang dilaporkan oleh wanita bernama Sri Suhartatik.
Terkait hal itu, Sulaisi Abdurrazaq selaku penasehat hukum pelapor Sri Suhartatik menduga bahwa sesungguhnya anak Ibu Bahriyah (Mohammad Fauzi) potensi sebagai tersangka, tapi menjadikan ibunya sebagai tameng.
"Mohammad Fauzi sebagai penerima kuasa dari Ibunya bersembunyi dibalik berita viral “nenek buta tersangka”. Padahal, semua administrasi yang mengurus adalah Mohammad Fauzi, pengusaha kaya raya pemilik perusahaan rokok bernama PT. Lembah Biru Jaya. Tapi yang diviralkan dalam berita ibunya," kata Sulaisi kepada awak media, Minggu (31/4/2024).
Menurutnya, kasus yang sedang viral ini telah diperiksa oleh pihak kepolisian sesuai prosedur dan profesional. Tak ada yang dilanggar, baik etik maupun disiplin. Tapi, lanjut dia, Penyidik Polres Pamekasan disudutkan sedemikian rupa, seolah-olah bersalah.
"Dugaan saya, mafia sesungguhnya berlindung di balik berita bohong yang sengaja diviralkan. Pelaku utama bisa saja berasal dari internal keluarga Tersangka Ibu Bahriyah, Dispenda Pamekasan dan bisa berasal dari BPN Pamekasan," ujarnya.
Karena itu, Sulaisi mendesak penyidik Polres Pamekasan harus mengejar pelaku utamanya dan mafia tanah ke balik jeruji besi.
Sedangkan terkait berita penetapan Tersangka oleh penyidik Polres Pamekasan terhadap Ibu Bahriah yang dimuat risalah.co.id tanggal 24 Maret 2024 dengan judul: “Ironis! Nenek Buta di Pamekasan Jadi Tersangka Kasus Dugaan Penyerobotan Tanah”, baginya adalah berita sesat.
"Menyajikan berita 'sesat' adalah kejahatan yang harus dilawan. Hoax bukan produk jurnalistik. Saya yakin penulisnya wartawan abal-abal, tidak lulus UKW/UKJ, sehingga merusak citra dan integritas profesi wartawan. Tak ada narasumber dalam berita itu. Kurang ajar," katanya.
Sulaisi kemudian menjelaskan bagian mana yang sesat dalam proses tersebut. Dikatakan, berita itu menyebut Ibu Bahriyah usia 60 tahun lebih.
"Artinya tidak terlalu tua, tapi menyebut buta. Itu jelas bohong dan mengandung unsur hasut dan agitasi," ungkap Sulaisi.
Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Jawa Timur ini berpendapat bahwa berita sesat berpotensi menghasut publik untuk membenci institusi Polri. Lantaran hoax seperti itu dapat menyerang imajinasi dan alam bawah sadar, sehingga Polri seolah-olah tak punya hati nurani dan keliru.
Selain itu, kata dia, berita itu menyebut perkara Ibu Bahriyah adalah dugaan penyerobotan tanah. Padahal yang benar pemalsuan dokumen/penggunaan SPPT PBB palsu tahun 2016. SPPT PBB palsu digunakan untuk menerbitkan sertifikat atas nama Ibu Bahriyah, sehingga keluar sertifikat ganda, ada sertifikat di atas sertifikat.
"Saya yakin ada mafia sembunyi di BPN Pamekasan," tegasnya.
Sulaisi juga menyebut, foto copy SPPT PBB palsu tahun 2016 yang tidak ada aslinya itu dilegalisir oleh lurah, sehingga seolah sesuai dengan asli atau seolah ada aslinya.
"Data palsu itu yang digunakan ke BPN untuk menerbitkan sertipikat atas nama Ibu Bahriah. Jadi clear, perkara ini adalah perkara pemalsuan SPPT PBB tahun 2016, bukan penyerobotan tanah. Karena itulah Syarif Usman (Mantan Lurah Gladak Anyar Pamekasan juga ditetapkan Tersangka," ungkap pria yang juga menjabat sebagai Direktur LKBH IAIN Madura tersebut.
Berita pada risalah.co.id yang menyebut Tersangka Ibu Bahriyah adalah korban kriminalisasi, baginya tidak benar. Sebab yang benar menurut Sulaisi perbuatan memalsukan dan atau menggunakan dokumen palsu. Sedangkan Pelapor adalah korban.
"Siapapun kita, tidak bisa main hakim sendiri di republik ini. Jika penyidik salah, manfaatkan dengan baik saluran yang benar, ajukan Praperadilan atau Laporkan Propam. Jangan tebar hoax/berita sesat", jelas Sulaisi.
"Jadi, viralitas yang berdasar pada berita 'sesat' bagi saya adalah kejahatan yang wajib dilawan," tukasnya.
Sementara itu, penasehat hukum terlapor Bahriyah, Supyadi mengatakan semua tuduhan pemalsuan yang mentersangkakan kliennya adalah rekayasa oknum polisi.
"Polisi bilang tanah diperjual belikan, padahal polisi sendiri tidak bisa menunjukkan bukti jual belinya, jelas yang disampaikan polisi itu adalah keterangan palsu," kata Supyadi.
"Polisi bilang klien saya memalsukan SPPT tahun 2016 atas nama titik dengan cara namanya di ganti ke Bahriyah dengan cara di foto copy untuk pengajuan sertifikat pada tahun 2017," sambungnya.
Ia juga menyebut, keterangan oknum polisi tersebut diduga palsu, karena yang benar, kata dia, ibu Bahriyah mengajukan sertifikat tahun 2016 memakai SPPT tahun 2015 atas nama Bahriyah sendiri, kemudian sertifikat terbit tahun 2017.
"Begitu yang benar, jadi tidak ada pemalsuan yang dilakukan oleh klien saya," ungkapnya.
Bahkan ditegaskan Supyadi, justru pelapor Sri Suhartatik yang diduga memalsukan SPPT. Sebab sejak 1975 sampai 2015, SPPT masih atas nama Bahriyah.
"Kok tiba-tiba dirubah pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2019 ke atas nama TItik, itu pun perubahannya tidak sesuai identitas, karena nama aslinya Sri Suhartatik," tandasnya.