Pengertian Puasa Menurut Para Imam Madzhab Fiqih
- viva.co.id
VIVA Bandung - Bagi kaum muslim ibadah puasa dibulan ramadan merupakan suatu kewajiban. Namun sebelum melaksanakan mewajiban tersebut hendaknya kita mengerti ilmunya agar tidak menjadi sia.
Terlebih ibadah puasa membutuhkan dua dimensi penting dimensi fisik dan batin dalam menjalankannya, jangan sampai puasa kita hanya menghasilkan lapar dan dahaga tak berefek pada apapun.
Secara defenisi Puasa secara bahasa berarti "menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu".
Sedangkan terminologi ulama fiqih, puasa bermakna menahan diri dari segala hal yang membatalkan, sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari dengan memenuhi segala syarat-syaratnya.
Definisi tersebut disetujui oleh madzhab Hanafi dan Hambali, sedangan Madzhab Maliki dan Syafi'i menambahkan kalimat, "dengan niat puasa".
Madzhab Syafi'i dan Madzhab Maliki meletakkan kalimat tersebut, karena meyakini niat adalah salah satu dari rukun puasa. Sedangkan Hanafi dan Hambali niat itu tidak termasuk dalam rukun puasa, hanya syarat yang harus dipenuhi dalam berpuasa saja.
Meski demikian niat adalah suatu keharusan menurut seluruh madzhab, maka siapapun yang tidak meniatkan diri untuk berpuasa maka puasanya tidak sah.
Perbedaan syarat dan rukun di antara para ulama hanyalah bagian dari ijtihad mereka dalam memahami firman Allah, sedangkan bagi masyarakat awam mereka harus tahu bahwa niat itu diharuskan dan tidak sah puasa mereka tanpa berniat.
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَحْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
”Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah, dari hafshah)