Membuka Pintu Kesempatan: Perjuangan Tutus Setiawan Melawan Stigma Tunanetra
- satu-indonesia.com
VIVABandung – Penyandang tunanetra sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mulai dari akses pendidikan, pekerjaan, hingga penerimaan sosial di masyarakat.
Keterbatasan penglihatan seringkali dijadikan alasan untuk membatasi potensi mereka, menciptakan stigma bahwa pilihan karier mereka hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu seperti tukang pijat, guru, atau pemain musik. Namun, Tutus Setiawan hadir untuk mengubah paradigma ini.
Tutus Setiawan, yang kehilangan penglihatannya sejak usia delapan tahun, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan penghalang untuk berprestasi dan memberikan manfaat bagi sesama.
Di tahun 2003, saat masih berstatus mahasiswa, ia bersama empat rekan sesama tunanetra Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani, dan Yoto Pribadi mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) di Surabaya.
LPT hadir sebagai wadah pembelajaran dan pengembangan diri bagi penyandang tunanetra. Lembaga ini fokus pada tiga pilar utama: pendidikan dan pelatihan, advokasi, serta riset.
Melalui program pendidikan dan pelatihan, LPT memberikan berbagai keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja modern, seperti pengoperasian komputer bicara, jurnalistik, teknologi informasi, dan public speaking sebagai Master of Ceremony.
Program advokasi LPT berperan penting dalam memberikan pendampingan dan perlindungan hukum bagi penyandang tunanetra yang menghadapi diskriminasi.
Sementara itu, divisi riset LPT aktif melakukan kajian tentang sarana dan prasarana yang dibutuhkan penyandang disabilitas, yang kemudian menjadi masukan berharga bagi pemerintah dalam pengembangan fasilitas publik yang lebih inklusif.
Dedikasi Tutus dalam memberdayakan komunitas tunanetra mendapat pengakuan nasional melalui penghargaan SATU Indonesia Awards dari ASTRA pada tahun 2015 di bidang pendidikan.
Penghargaan ini menjadi bukti bahwa upayanya dalam mengembangkan metode pendidikan berdaya untuk penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, telah memberikan dampak positif yang signifikan.
Kesuksesan Tutus dalam menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S2 di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menjadi inspirasi nyata bagi komunitas tunanetra.
Ia membuktikan bahwa dengan tekad kuat dan dukungan yang tepat, penyandang tunanetra dapat mencapai pendidikan tinggi dan berkarier di berbagai bidang profesional.
Sejak berdiri, LPT telah berhasil menghimpun ratusan anggota di Surabaya. Keberhasilan lembaga ini tidak hanya terletak pada jumlah anggotanya, tetapi juga pada perubahan mindset yang berhasil diciptakan.
Semakin banyak penyandang tunanetra yang berani bermimpi lebih besar, percaya diri tampil di ruang publik, dan mampu hidup mandiri.
Sebagai pionir pemberdayaan tunanetra di Indonesia, Tutus terus konsisten menjalankan misinya untuk melatih mental para penyandang tunanetra agar berani, percaya diri, dan mandiri.
Perjuangannya tidak hanya tentang membuka kesempatan bagi komunitas tunanetra, tetapi juga tentang mengubah persepsi masyarakat bahwa penyandang disabilitas mampu berkontribusi secara setara dalam berbagai aspek kehidupan.****