Nicotine War, KMNU Bedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin
- Istimewa
Sementara itu, Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono menggunakan pendekatan ekonomi politik dalam memahami Nicotine War. Menurutnya, ada siklus penciptaan budaya pasar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Mereka menyewa ilmuwan untuk mengampanyekan ekonomi politik berbasis pengetahuan.
"Kita dijajah dengan tersenyum karena legitimasi saintifikasi. Setelah saintifik kokoh, mereka bermain dan intervensi via WHO. Sebab, gak mungkin akan terjadi perang sedahsyat ini jika tidak ada pengetahuan saintifik. Negara adidaya itu kalo sudah ada maunya, yang lain harus ngikut," ungkap Eko.
Ketidakmandirian pada level pengetahuan, lanjut Eko, membuat bangsa Indonesia sering tidak tepat menemukan solusi atas berbagai persoalan. Masyarakat Indonesia telah lama diintervensi oleh kampanye kesehatan yang masif dan dipaksa mengamini hasil penelitian luar negeri secara mentah-mentah.
"Orang sehat adalah orang tidak merokok. Orang tidak sehat adalah orang merokok. Pertanyaannya, sehat atau tidak sehat itu standar siapa? Maka, kapitalisme kesehatan menciptakan pemburukan sistem kesehatan di Indonesia yang semakin tidak adil dan diskriminatif."
Senada dengan Abhisam dan Eko, Direktur Penerbit Kolofon, Aditia Purnomo menilai pentingnya Nicotine War untuk diterbitkan kembali. "Nicotine War perlu dibaca dan melihat konteks Indonesia sekarang. Pemerintah, hingga saat ini, masih diatur oleh kepentingan-kepentingan global dan tidak bisa memiliki kedaulatan sendiri," ujar Adit.
Adit juga menyoroti negara yang masih malu-malu mengakui bahwa cukai rokok sangat dibutuhkan. Padahal negara membutuhkan banyak uang sehingga pilihannya adalah menaikkan tarif cukai rokok setinggi-tingginya.