Mengenal Vania Febriyantie, Petani Milenial di Tengah Kota
- Satu Indonesia
VIVA Bandung – Menjadikan kegiatan bertani sebagai profesi adalah sesuatu yang langka di zaman sekarang. Meskipun ketahanan pangan di Indonesia dalam keadaan terancam.
Diketahui, sebagian besar petani didominasi petani senior berusia 40-60 tahun. Namun ternyata ada seorang wanita muda yang memilih bertani meskipun tinggal di tangah kota. Dia adalah Vania Febriyantie, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung program studi Biologi.
Kegiatan bertani itu dimulai sejak tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan ketahanan pangan mulai menipis. Vania melihat lahan yang kosong di daerahnya yakni di Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Bandung Utara.
Ia pun sangat menyayangkan lahan tidur tersebut tidak dimanfaatkan karena hanya menjadi tempat untuk membuang sampah sembarangan.
Pemuda yang lahir tahun 1993 itu mendirikan komunitas yang diberi nama Seni Tani. Vania bersama teman-temannya mengangkat konsep urban farming, yakni bertani di tengah lingkungan perkotaan. Menurut Vania, nama Seni Tani sendiri berasal dari ide salah satu temannya. Ia kemudian suka karena namanya memiliki arti filosifis.
Dalam bertani, komunitas Seni Tani sangat memperhatikan kondisi alam sekitar dan sebisa mungkin mereka tidak menggunakan bahan-bahan yang bisa mencemari lingkungan.
“Kalau seni kan orang di mana-mana punya caranya sendiri-sendiri ya. Tapi tidak terlepas dari prinsip yang ada. Jadi kami berprinsip bertani itu tidak boleh mencemari dan harus terintegrasi satu sama lain. Jadi harus beragam,” kata Vania dalam Bincang Inspiratif beberapa waktu lalu.
Setelah sekian lama berjalan, banyak bapak-bapak atau ibu-ibu bergabung karena tertarik dengan komunitas Seni Tani. Bahkan mereka juga memiliki kesadaran bahwa anak-anak muda juga harus ada yang menjadi petani.
Kelurahan Sukamiskin kemudian menyambut baik kegiatan yang dilakukan Vania dan kawan-kawan di komunitas Seni Tani. Mereka sangat mendukung Seni Tani untuk mengolah lahan yang terbengkalai tersebut. Sedangkan Badan Ketahanan Pangan Kota Bandung memberikan bibit, dan Kemenpora memberikan dana bantuan untuk membangun infrastruktur kebun.
“Jadi beliau ibu lurahnya mendukung anak-anak muda banget yang mau gerak dan mau membuat gerakan baru. Itu mereka sangat support dalam hal lingkungan. Dan kelurahan pun sangat konsen sama persampahan saat ini. Jadi kita pun punya konsen untuk mengolah sampah organik yang ada di sekitar, sampah halaman, sampah warga, itu kita olah jadi kompos,” jelasnya.
Vania mengungkapkan, Seni Tani memiliki dua area kebun yang digarap, yaitu area kebun komunal dan area kebun produksi. Area kebun komunal dibuka untuk warga dan sukarelawan pada Minggu pagi dengan kegiatan berkebun bersama, membuat pupuk, membuat eco enzyme, dan olahan pupuk lainnya.
Sementara untuk area kebun produksi, komunitas Seni Tani menjadikannya sebagai lahan bercocok tanam sayur-mayur yang dijual dengan cara membayar biaya berlangganan pada awal musim tanam.
Alhasil, sistem yang diterapkan Vania dan kawan-kawan mampu mengatasi masalah biaya penggarapan sehingga produksi dapat meningkat dan dapat mencukupi kebutuhan.
Seni Tani saat ini menggarap lahan dengan luas mencapai 1.000 m2. Lahan sederhana itu menghasilkan berbagai macam sayuran dengan estimasi bobot hingga 250 kg yang bisa didistribusikan hingga ke 50 kepala keluarga setiap bulan.
Berkat gerakan pertanian yang dilakukan di tengah perkotaan itu, akhirnya Vania Febriyantie menjadi salau satu penerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2021 sebagai Pejuang tanpa Pamrih di Masa Pandemi Covid-19.
Vania bersyukur, perjuangannya bisa bermanfaat bagi masyarakat dan bisa mengajak pemuda-pemuda kota manjadi petani yang produktif.
“Jadi aku ngerasa petani itu kayak punya perpustakaan berjalan dibandingin aku yang waktu itu baru lulusan S1, nggak ada apa-apanya nih ilmunya. Jadi dari cara pola tanam, dari jenis-jenis sayuran, benih harus ditreatmentnya dengan cara apa, aku belajarnya dari situ," pungkasnya.