Kasus Ferdy Sambo Bukan Pembunuhan Berencana?
- VIVA/M Ali Wafa
BANDUNG – Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali mengatakan seorang pelaku pembunuhan berencana harus dalam kondisi tenang saat merencanakan pembunuhan. Dalam jeda waktu tersebut, pelaku juga harus memikirkan akibat jangka panjang yang akan diterimanya.
Hal tersebut dikatakan Mahrus saat dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan dari pihak terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Kamis, 22 Desember 2022.
Ferdy Sambo, berdasarkan keterangan dari Bharada E dan Ricky Rizal berada dalam kondisi marah dan menangis saat menceritakan peristiwa pelecehan seksual dan merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir Yosua.
"Kalau terencana, apakah ketika memutuskan atau merencanakan (pembunuhan) dalam kondisi tenang? Ada saksi yang melihat? Bagaimana ekspresi pelaku saat memutuskan? Apa motivasinya?" kata Mahrus di ruang sidang 1 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kedua, ada jeda waktu enggak? Yang penting, bukan waktu yang lama atau sebentar, tapi apa? Situasinya tenang. Memikirkan segala sesuatunya karena bisa jadi rangkaian waktunya lama. Tapi, jika kondisinya emosi terus, maka itu bukan 340 (Pasal pembunuhan berencana)," sambungnya.
Meski demikian, Mahrus menyarankan agar kondisi emosi seseorang itu dikaji lebih jauh oleh ahli psikologi melalui tesnya.
Harus ada ahli kalau dia mengatakan tidak tenang, apa buktinya? Pasti ada tes psikologinya, dia bisa menjelaskan, menangis dalan konteks trauma lama luar biasa atau menangis karena ketawa? Ada yang ketika bersin menangis itu kan ada, siapa yang bisa membuktikan? Ya ahli," jelas Mahrus.