Nonton Video Porno Bikin Batal Puasa? Begini Penjelasan Ulama

Akun penjual konten porno yang tersebar di WA Grup.
Sumber :
  • Istimewa/Diki Hidayat

VIVA Bandung - Memasuki bulan suci Ramadhan, seluruh umat Muslim diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa.

Cagub Jabar Dedi Mulyadi Dapat Dukungan Ulama di Pilkada 2024

Ibadah ini mencakup menahan diri dari lapar, haus dan dahaga dari mulai pagi hingga sore hari.

Selain itu, puasa juga menjadi media untuk menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran islam.

Kritik Konstruktif: Pengawalan Konstitusional untuk Prabowo-Gibran Demi Kemajuan Bangsa

Namun, belakangan kerap muncul pertanyaan tentang apakah batal puasa seseorang jika menonton video porno.

 Dalam konteks ini, mayoritas Ulama sepakat jika menonton porno merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji.

Ketum PDIP Megawati Digugat Kader Sendiri di PN Jakpus, Dianggap telah Melanggar Hukum

Menonton konten pornografi, pencabulan, dan sejenisnya dapat merusak kesucian berpikir hingga menjauhkan seseorang dari jalan yang benar menurut ajaran islam. 

Tidak Membatalkan Puasa

Ilustrasi Bahaya Situs Porno

Photo :
  • Viva Group

 

Menonton video dewasa/porno merupakan sebuah aktivitas memandang sesuatu yang diduga kuat menggunakan syahwat.

Secara normatif, memandang sesuatu dengan syahwat tidak membatalkan puasa. 

Hal ini dijelaskan dalam Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman: 247) yang artinya, “Sperma jika keluar (ejakulasi) sebab onani, maka puasa seseorang batal. Tetapi jika mani keluar dengan semata-mata pikiran dan memandang dengan syahwat, maka puasanya tidak batal. Sedangkan ejakulasi sebab kontak fisik pada selain kemaluan, sentuhan, atau ciuman, maka puasanya batal. Ini pandangan mazhab Syafi’i. Demikian juga pandangan mayoritas ulama.”

Meski begitu, seseorang yang berpuasa sebisa mungkin menjauhkan diri dari menonton video dewasa.

Saat membahas ciuman antara suami dan istri, Imam An-Nawawi mengukur tindakan tersebut dari aspek hukum mengenai efeknya.  

“Yang menjadi pertimbangan adalah sejauh mana tindakan tersebut mengobarkan syahwat dan dikhawatirkan terjadi ejakulasi dan orgasme.” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah at-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VI, halaman: 323).