Fenomena Pekerja Migran Pengaruhi Identitas Nasional dan Dinamika Multikulturalisme
- Pribadi/Istimewa
VIVA Bandung - Dampak koheren globalisasi merupakan sebuah keniscayaan di era modern saat ini.
Berbagai aspek kehidupan mulai dari segi ekonomi, keamanan nasional, hingga kewarganegaraan merupakan topik yang menarik untuk dikaji.
Merespons situasi tersebut, Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama dengan Eurasia Foundation menyelenggarakan kelas perdana mata kuliah Multikulturalisme di Asia dengan tajuk “Migrant Workers, National Identity, and Citizenship: Asian Experiences” dengan Prof. Gonda Yumitro sebagai pemateri.
Ketika berbicara mengenai pekerja migran atau migran workers, maka yang pertama kali terlintas dalam pikiran kita ialah wilayah perantauan seperti Taiwan, Hongkong, dan Malaysia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Taiwan dan Hongkong merupakan destinasi favorit para pekerja migran yang berasal dari Indonesia.
“Kedatangan para pekerja migran asal Indonesia yang didominasi penganut agama Islam tentu mendorong terciptanya kondisi yang multikultural di Taiwan,” ujar Prof. Gonda.
Selain itu, di tengah fenomena ageing population yang melanda Taiwan, kedatangan para pekerja migran ini jelas menguntungkan.
Di satu sisi, kebutuhan suplai tenaga produktif Taiwan dapat tercukupi, dan di sisi lain kebutuhan ekonomi para pekerja migran juga terpenuhi.
Selain memaparkan fenomena migrasi pekerja Indonesia ke Taiwan, Prof. Gonda juga menceritakan pengalamannya di “Negeri Gandhi”.
Para mahasiswa diajak untuk mengeksplorasi negara India selama kelas berlangsung. Ia membagikan salah satu pengalamannya di India, yaitu ketika ditanya oleh seorang kolega dari Malaysia, “Indonesia di mana?”.
Pengalaman tersebut dikaitkan dengan konsep cultural relativism oleh seorang filsuf kenamaan, G.W.F Hegel, yaitu konsep yang mengasumsikan bahwa di setiap tempat, budaya itu bersifat relatif dan tidak selalu sama.
“Di Indonesia, pertanyaan tersebut akan mengarah kepada di mana letak negara Indonesia, sedangkan yang dipertanyakan oleh teman saya yaitu Indonesia bagian mana,” tuturnya.
“Kondisi yang multikultur mengharuskan kita agar tidak bersikap sombong, karena di dunia ini bukan hanya agama, etnis, dan bangsa kita yang ada di dalamnya,” tegas Prof. Gonda.
Dengan demikian, kelas ini bukan hanya sekadar forum akademis, melainkan juga sebagai sarana pembentukan karakter yang toleran dan berpola pikir global.