DPR Kecam Tarif Pulau Komodo 3,7 Juta, : Kelucuan di Negeri Ini
BANDUNG – Polemik rencana pemerintah memberlakukan kenaikan tarif wisata ke Taman Nasional Pulau Komodo menjadi Rp15 juta per paket atau Rp3,75 juta per orang terus bergulir. Mayoritas masyarakat menolak hal tersebut.
Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Dedi Mulyadi mengatakan kebijakan tersebut berlebihan dan akan memiliki efek menurunnya jumlah wisatawan.
“Kekhawatiran orang itu setelah ada tarif tersebut maka jumlah wisatawan menurun dan kemudian taman komodo itu menjadi taman eksklusif yang dikuasai oleh korporasi tertentu. Maka dikhawatirkan mematikan industri pariwisata yang dikelola secara tersebar oleh pengusaha kecil dan lokal,” ujar Dedi Mulyadi dalam keterangannya, Rabu 24 Agustus 2022.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dedi saat memimpin rapat dengar pendapat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait pengelolaan wisata alam di Taman Nasional Komodo.
Ia pun mempertanyakan rencana pemerintah menerapkan paket senilai Rp 15 juta tersebut. Pemerintah harus bisa menjelaskan rincian hingga perizinan jika nantinya masyarakat tak mau menggunakan jasa wisata yang telah ditentukan.
“Itu Rp15 juta apakah paket apakah satu - satunya paket yang bisa dipilih atau tidak?,” ujar Dedi.
Bagi Dedi, polemik ini kembali mengingatkannya pada sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Mulai dari hilangnya areal hutan yang diserahkan ke swasta sehingga kaum ada tergusur dan kehidupannya menjadi mati. Contohnya masyarakat adat di Kalimantan dan Sumatera.
Selain itu polemic soal hewan yang dilindungi pun terjadi di berbagai daerah seperti Lampung. Di sana banyak gajah yang masuk ke permukiman warga karena lapar dan rusaknya areal hutan. Dalam hal ini juga ada peran swasta yang berperan besar dalam alih fungsi hutan.
“Begitu juga di Jawa Barat macan tutul mau punah karena berebut (lahan) dengan warga. Macan tutul turun makan kambing kemudian (macan) dibunuh (warga),” katanya.
Di sisi lain banyak birokrat yang menjalani pendidikan bahkan disekolahkan pemerintah namun tak jarang pengelolaan strategis malah diberikan pada pihak swasta. Begitu pun jika kewenangan diberikan pada birokrasi akan berdampak pada sejumlah pemeriksaan-pemeriksaan yang tak ada hentinya berkaitan dengan sektor hukum. “Ini kelucuan di negeri ini,” katanya.
Sehingga, kata Dedi, harus ada kesadaran upaya sistematik. Jangan sampai kebijakan yang dipilih pemerintah malah berbalik mencederai perekonomian masyarakat lokal.
Menurut Dedi jika paket tersebut malah akan menjadikan identitas komodo sebagai wisata ‘orang kaya’ dan mematikan ekonomi lokal maka lebih baik kebijakan tersebut dievaluasi.
“Kalau ternyata paket itu mengubah brand menjadi milik orang kaya, komodo itu seolah-olah tidak bisa hidup tanpa paket yang Rp 15 juta dan membuat warga sekitar kehilangan lingkup ekonomi yang besar, lebih baik evaluasi saja jangan berlakukan. Jangan sampai suatu saat kita ini jadi gagal melakukan pengelolaan di lingkungan kita,” ujar Dedi.
Ia berharap setelah rapat ini ada tindakan yang lebih nyata sehingga kegelisahan masyarakat terhadap berbagai polemik komodo tidak terjadi. “Setelah ini kita tindak lanjuti dengan langkah yang lebih nyata sehingga kegelisahan masyarakat mengenai peningkatan tarif paket wisata khusus untuk komodo yang diprediksi akan mematikan seluruh potensi lokal bisa dilakukan dengan baik dan tidak terjadi,” pungkasnya. (rls)